Kali ini kita mengulas sekilas secara iseng-iseng saja
tentang makna kata dari slogan “Orang bijak taat pajak“ yang sering
didengung-dengungkan. Bahkan slogan tersebut terpampang dengan ilustrasi gambar
di halaman depan situs Dirjen Pajak, yang bisa diakses di sini.
Memang tidak menyebutkan slogan secara lengkap, cuma ajakan: “Ayo Taat Pajak!“.
“Ayo Taat
Pajak“ di website Dirjen Pajak
Presiden pun tidak ketinggalan mengutip slogan
tersebut dalam sambutannya pada acara penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT)
Tahunan Pajak 2011 pada hari Senin, 19 Maret 2012, di Aula Mezzanine, Gedung
Djuanda, kantor Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Jakarta. Kita kutip sebagian
penyataan Presiden di situs dirjen pajak di sini:
“Masyarakat harus taat membayar pajak karena pajak
penting untuk dana membangun negara yang ujungnya untuk peningkatan
kesejahteraan. Semoga kepatuhan dan kesadaran ini terus berkembang di negara
kita. Saya lihat di jalan-jalan ada tulisan orang bijak bayar pajak. Semoga
kita dituntun semua menjadi orang yang bijak,” himbau Presiden.
Presiden
mengajak jadi orang bijak dengan bayar pajak (sumber foto: www.pajak.go.id)
*****
Kita lihat makna secara harfiah dari kata: “bijak“ dan
“taat“ menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring (bahasa baku dari
“online“) yang bisa diakses di sini.
“bi•jak a 1 selalu menggunakan akal budinya;
pandai; mahir: bukan beta — berperi; engkau memang –; atau 2 Mk pandai
bercakap-cakap; petah lidah;
“ta•at a 1 senantiasa tunduk (kpd Tuhan,
pemerintah, dsb); patuh: Nabi Muhammad saw. menyeru manusia supaya mengenal
Allah dan — kepada-Nya; 2 tidak berlaku curang; setia: ia adalah seorang istri
yg –; 3 saleh; kuat beribadah: jadilah Anda seorang muslim yg –;
– sumpah menaati sumpah yg diucapkan; …“
– sumpah menaati sumpah yg diucapkan; …“
Hmm, jadi bisa diartikan bahwa taat pajak itu
merupakan ciri dari orang yang menggunakan akal budinya, pandai, dan mahir.
Atau, frasa “taat bayar“ secara harfiah identik dengan frasa “taat kepada
nabi“. Mohon maaf, ini utak-atik kata-kata saja, tidak bermaksud menyejajarkan
ketaatan bayar pajak dengan kayakinan agama.
Mungkin yang lebih tepat atau mendekati makna
sebenarnya adalah pengertian taat sebagai “tidak berlaku curang“. Jadi orang
bijak tidak akan berlaku curang, yaitu dengan tidak taat bayar pajak. Apalagi
jika kekayaan dan hartanya tergolong berlimpah.
*****
Adakah kata atau frase “orang bijak“ pada peraturan
perundangan? Kita simak dulu undang-undang perpajakan. Makna orang bijak bisa
disematkan pada individu atau badan yang disebut sebagai “wajib pajak“.
Sebelum kita lihat makna wajib pajak atau obyek pajak,
kita lihat dulu tentang undang-undang yang berkenaan dengan pajak ini.
Ternyata, beberapa Undang-Undang tergolong “jadul“ karena sebagian besar
diterbitkan pada tahun 1983, walaupun sudah ada beberapa kali adendum atau
perubahan, misalnya:
- Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan
- Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
Pemerintah sendiri memang berniat untuk melakukan
penggantian undang-undang perpajakan, seperti diberitakan di sini. Niatnya tentu saja
untuk semakin meningkatkan penerimaan pajak. Bukan hanya pemerintah saja, warga
negara pun telah melakukan permohonan uji materi (udicial Review) Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Namun upaya tersebut ditolah Mahkamah Konsitusi seperti tercantum dalam siaran
pers dari Dirjen Pajak di sini.
Nah sekarang kita balik lagi ke istilah “wajib pajak“.
Acuannya adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 tentang
Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
Dan Tata Cara Perpajakan. Pada pasa 1 ayat 2 tertulis:
“Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan,
meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak
dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.“
Apa saja hak dan kewajiban wajib pajak, silakan lihat
saja pada naskah undang-undangnya di sini.
*****
Jadi, benarkan logikanya jika dari slogan itu saya
katakan:
“Orang tidak bijak tidak taat pajak”, atau
“Orang taat pajak pasti orang bijak”.
Menurut Saya, memang slogan “Orang bijak taat pajak”
lebih mengedepankan ajakan bagi semua warga negara agar taat membayar pajak
karena secara teoritis, penerimaan pajak tersebut akan digunakan oleh negara
untuk membangun bangsa juga. Dan makna yang lebih penting, orang bijak pun
tidak hanya disematkan pada pembayar pajak, namun berlaku juga bagi pemanfaatan
pajak oleh pemerintah.
Meskipun topik kali ini iseng-iseng saja, apa pendapat
Anda tentang slogan tersebut?
OPINI saya :
Menurut saya
dengan slogan Orang Bijak Taat Pajak, Namun Penggunaan pajak yang pasti
adalah untuk tambahan pendapatan negara, selain dari ekspor, penerbitan
obligasi, SBI dan pinjaman luar negeri. Alokasinya mulai dari pembangunan
infrastruktur, investasi, hingga subsidi pemerintah terlepas dari penyelewengan
oknum2 tertentu, bukan berarti wajib pajak kemudian tidak membayar pajak. Saat
ini pemerintah sudah melakukan berbagai usaha untuk mengurangi kebocoran2
anggaran negara, diantaranya dengan peranan KPK.
Tetapi akankah
arti bijak dalam konteks pemenuhan kewajiban ke negara dalam bentuk pajak
selalu diarahkan kepada wajib pajak. Pemangku kepentingan tidak hanya ditujukan
kepada masyarakat individu dan badan usaha.Dengan kemungkinan terciptanya masyarakat
sadar pajak merupakan satu pekerjaan rumah. Sejauh mana intensitas keterlibatan
penuh dari pemerintah untuk memberdayakan arti dan manfaat dari pajak ini
sendiri. Ketangguhan dan penguasaan materi atas ruang lingkup persoalan
landasan utama. Sering kali ditemui adanya ketidakmampuan petugas pajak di
lapangan memahami sisi yang paling penting dari perpajakan. Menciptakan budaya
“Orang Bijak Taat Pajak” tidak cukup hanya ditujukan kepada pembayar pajak,
bahkan bisa disebut dengan Orang Cerdik Tidak Punya NPWP, dan Orang Beruntung
Tidak Tertangkap Walaupun Tidak Punya NPWP .
Namun di
sisi lainnya, pajak juga dipahami sebagai sumbangan paksaan dari penguasa yang
digunakan untuk memperoleh uang atau pemasukan. Keberadaan pajak yang dipahami sebagai suatu paksaan
tentunya juga akan muncul ekses lainnya, yaitu adanya perlawanan wajib pajak
berbentuk keengganan
berupa penghindaran membayar pajak. Ada berbagai alasan masyarakat sebagai
wajib pajak menolak atau menghindari membayar pajak, diantaranya masih minimnya
penghasilan, akan berkurangnya harta, tidak jelasnya distribusi pajak, dan
kekhawatiran terjadinya penggelapan pajak. Dengan salah satu contohnya “Munculnya
kasus Gayus Tambunan”, betapa rakyat merasa didzholimi dan dikhianati, oleh
praktek-praktek penggelapan pajak dengan berbagai modus. Perasaan kecewa dan
marah kemudian memunculkan sebuah pembenaran yang diwujudkan dengan sebuah
keengganan terhadap kewajiban negara (membayar pajak) itu.
Lantas,
apakah kemudian dijadikan sebuah alasan untuk melakukan Kekhawatiran dan
keengganan membayar pajak ? Tentu tidak, perlu solusi yang cerdas, dengan
kesadaran bersama melaksanakan kewajiban, selain itu harus ada transparansi
pendistribusian hasil pajak dan perlunya pengawasan yang ketat bagi para
petugas pajak. Pengawasan tidak hanya internal, melainkan juga eksternal.
Dibutuhkan peran masyarakat untuk mengawasi dan diperlukan peningkatan
akuntabilitas bagi Direktorat Jenderal Pajak, dengan dikeluarkannya kebijakan
pemerintah tentang adanya audit dari BPK atau lembaga lain yang berkompeten.
Jadi, tidak perlu ada lagi dilematisasi bagi wajib pajak untuk melaksanakan
kewajibannya membayar pajak .