Selasa, 17 Desember 2013

Sikap Auditor Terhadap Materialitas dan Salah-Saji Tak Terkoreksi

Auditor, dalam menjalankan tugasya, sering dihadapkan pada persoalan materialitas dan salah-saji, terutama salah-saji yang dibiarkan begitu saja oleh penyusun laporan keuangan, yang dari perspektif auditor eksternal dikenal dengan istilah “salah saji tak terkoreksi” (uncorrected misstatement). Materilitas dan salah-saji tak terkoreksi memiliki hubungan yang sangat erat. Apa hubungan antara materialitas dan salah-saji, bagimana sikap auditor terhadap materialitas dan salah-saji tak terkoreksi? Itulah topik yang dibahas dalam tulisan ini.
Kita mulai dengan melihat, terlebih dahulu, mengapa timbul salah-saji yang tak terkoreksi, apa hubungannya dengan persoalan materialitas, setelah itu baru kemudian masuk ke sikap auditor terhadap salah-saji tak terkoreksi.

Mengapa Timbul Salah-Saji Yang Tak Terkoreksi?

Salah-saji, idealnya, dikoreksi—oleh akuntan penyusun laporan keuangan—begitu ditemukan. Tetapi pada kondisi tertentu, salah-saji seringkali dibiarkan begitu saja karena alasan tertentu. Salah satu alasan yang paling lumrah digunakan adalah pertimbangan “materialitas”—salah-saji yang tak terkoreksi dianggap “tidak material”.
Dari sisi penyusun laporan keuangan (entah akuntan internal atau konsultan), pertimbangan ‘material/tidak material’ seringkali dipengaruhi oleh faktor lain, terutama batas akhir penyampaian laporan keuangan (relevansi), disamping keinginan untuk meminimalkan biaya yang timbul dari proses penyusunan laporan.
Mereka yang kebetulan bekerja untuk sebuah perusahaan, saya yakin bisa membayangkan situasi berikut ini:
Setelah ngos-ngosan mengejar batas akhir penyampaian laporan keuangan, tanggl 2 Januari 2013, akhirnya berhasil merampungkan lapora keuangan. Setelah diteliti sekilas, laporan keuangan dikirimkan ke semua jajaran manajemen perusahaan.
Sekembalinya ke meja, penyusun laporan meneiliti kembali item-item yang tersaji dalam laporan keuangan—yang printoutnya sudah dibagi-bagikan ke pihak manajemen, lalu menemukan beberapa kesalahan. Si penyusun laporan berpikir, “Ah.. biarin deh, sudah terlanjur dilaporkan, lagi pula nggak material ini juga”.
Bisa dibilang, konsep “materialitas” mengandung unsur subyektifitas yang tinggi.
Dalam seknario yang lebih parah, sudah banyak terjadi di luar sana, pertimbangan materialitas banyak digunakan sebagai alasan untuk membenarkan pembiaran salah-saji, sejak di awal, bahkan untuk kesalahan yang disengaja. Adalah kenyatakaan bahwa pertimbangan materialitas kerap disalahgunakan—tentunya oleh manajemen yang tidak disadari oleh akuntan.
Persoalan ini penting bagi auditor, tetapi lebih penting lagi bagi akuntan penyusun laporan keuangan. Idealnya, seorang akuntan yang menyusun laporan keuangan seharusnya tidak mengorbankan akurasi dan keandalan untuk alasan relevansi (ketepatwaktuan). Para akuntan peyusun laporan keuangan, oleh standar, diharapkan mampu menggunakan pertimbangan materialitas secara profesional—tanpa mengurangikeandalan dan ketepatwaktuan laporan.
Tahu harus bersikap apa ketika menumakan salah-saji adalah satu hal penting bagi seorang auditor. Memahami konsep materialitas—yang idealnya lebih mumpuni dibandingkan akuntan penyusun laporan keuangan—adalah hal yang pokok; bagaimana bisa menentukan sikap profesional, ketika menemukan salah-saji, jika tidak tahu batasan materialitas?

Definisi dan Batasan Materialitas

Secara umum, batasan materialitas tidak berupa angka tertentu yang diberlakukan bagi semua perusahaan (misal Rp 500,000 atau 1,000,000 atau 5,000,000), melainkan berdasarkan persentase tertentu. Sehingga, bisa dikatakan bahwa, tingkat materialitas pada suatu perusahaan berbeda dengan perusahaan lain.
Materilitas berdasarkan persentasepun, sampai saat ini, masih sering menjadi bahan perdebatan—baik di kalangan praktisi maupun akademisi.
Materialitas, oleh FASB, didefinisikan sebagai:
besarnya suatu kelalaian atau salah saji, dalam laporan keuangan, yang membuat pengguna laporan terpengaruh oleh informasi yang dihilangkan, atau membuat keputusan berbeda jika informasi yang benar diketahui.”
Meskipun para pakar dan regulator telah berusaha membuat definisi materialitas yang bisa disepakati secara global, tetap saja belum menghasilkan batasan yang pasti mengenai konsep materialitas; unsur subyektifitas yang melekat pada konsep ini masih tetap tinggi. Sehingga masih sulit untuk memisahkan transaksi bersifat tidak material dengan yang material.
Celakanya lagi sering disalahgunakan untuk kepentingan tertentu, termasuk kepentingan untuk memperoleh keuntungan pribadi/perusahaan—dengan menjadikan pertimbangan materialitas sebagai tameng untuk tidak melakukan koreksi pada item yang salah-saji.
Materialitas, sebagai sebuah kriteria, mengandung aspek kuantitatif sekaligus kualitatif, dan suatu transaksi bisa dianggap tidak material jika kedua aspek ini sudah dipertimbangkan dan memang benar-benar tidak material atau tidak relevan.
Meskipun penilaian materialitas, aslinya, memang berdasarkan uji kuantitatif (dengan persentase), keadaan yang melingkupi suatu transaksi atau item dalam laporan keuangan bisa mempengaruhi penentuan apakah transaksi/item tersebut dinilai material atau tidak material. Misalnya:
Suatu transaksi, jika dicatat, dapat mengubah kondisi “laba” menjadi “rugi” atau mengubah rasio terhadap utang dari tidak-patuh mejadi patuh (atau sebalinya), dianggap MATERIAL—meskipun secara kuantitatif tergolong tidak material.
Faktor berikutnya yang mempengaruhi material/tidak material adalah “aktivitas rutin atau khusus”. Suatu transaksi mungkin dianggap tidak material ketika itu menyangkut operasional rutin sehari-hari, tetapi manjadi material ketika jenis transaksi yang sama timbul dari aktivitas khusus untuk maksud tertentu. Misalnya: transaksi yang mengakibatkan manajemen bisa mencapai target (atau bonus) mungkin dianggap material meskipun secara kuantitatif tidak material.
Faktor lainnya adalah “tingkat persisi estimasi” yang digunakan. Misalnya:
Estimasi “utang” biasanya bisa diestimasi dengan lebih persis dibandingkan potensi rugi atas kewajiban penarikan suatu aset, sehingga suatu salah-saji yang ketika berhubungan dengan utang dianggap material mungkin tidak material ketika berkaitan dengan kewajiban penarikan aset.
Beberapa contoh transaksi dimana menggunakan faktor kuantitatif saja adalah tidak cukup—sehingga perlu disertai dengan pertimbangan faktor-faktor kualitatif, antara lain:
  • Membeli atau menjual aset yang harganya lebih atau kurang dari nilai buku aset.
  • Proses litigasi terhadap keinginan manajemen perusahaan untuk mengubah harga dalam kontrak yang telah disepakati atau kasus yang berhubungan dengan tuntutan antitrust.
  • Negosiasi aktif mengenai penyelesaian utang-piutang

Batasan Materialitas Menutur SEC-nya AS

Badan pengawas pasar modal AS—Securities and Exchange Commission (SEC)—memberi panduan mengenai batasan materialitas, bagi perusahaan publik di AS sana, sbb:
  • 1% dari total aset untuk piutang ke manajemen dan pemegang saham
  • 5% dari total aset untuk item neraca yang menggunakan disklosur terpisah; dan
  • 10% dari total pendapatan untuk perusahaan pengolah bahan bakar minyak dan gas
Di Indonesia, khususnya bagi perusahaan berstatus publik, pihak BAPPEPAM telah mengeluarkan peraturan khusus mengenai uji materialitas yang harus ditempuh oleh perusahaan berstatus publik (Tbk), khususnya Per IX.E.2.
Sesuai dengan peraturan tersebut, perusahaan berstatus publik di Indonesia dihimbau untuk menempuh 2 tahapan uji materialitas, sbb:
Tahap-1. Uji Jenis Transaksi – Perusahaan diminta untuk memperhatikan jenis-jenis transaksi berikut ini:
  • Pembelian saham (termasuk dalam rangka pengambilalihan);
  • Penjualan saham;
  • Penyertaan dalam badan usaha, proyek, dan/atau kegiatan usaha tertentu;
  • Pembelian, penjualan, pengalihan, tukar menukar atas segmen usaha atau aset selain saham;
  • Sewa menyewa aset;
  • Pinjam meminjam dana;
  • Menjaminkan aset; dan/atau
  • Memberikan jaminan perusahaan.
Apabila persoalan materialitas timbul pada salah satu transaksi di atas makan perusahaan diminta untuk melakukan uji batasan nilai (threshold) materialitas pada tahap-2 berikut.
Tahap-2. Uji Terhadap Batasan Nilai Material – Perusahaan diminta membandingkan nilai transaksi secara keseluruhan (baik terhadap transaksi yang dilakukan hanya satu kali maupun transaksi yang dilaksanakan dalam suatu rangkaian untuk tujuan atau kegiatan tertentu) dengan ekuitas Perusahaan. Adapun, nilai ekuitas yang dipakai sebagai perbandingan adalah nilai ekuitas sebagaimana terdapat pada yang terkini dari:
  • Laporan keuangan tahunan yang diaudit;
  • Laporan keuangan tengah tahunan yang disertai laporan Akuntan dalam rangka penelaahan terbatas paling kurang untuk akun ekuitas; atau
  • Laporan keuangan interim yang diaudit selain laporan keuangan interim tengah tahunan, dalam hal Perusahaan mempunyai laporan keuangan interim.
Apabila setelah perbandingan tersebut dilakukan ternyata ditemukan bahwa total nilai transaksi mencapai 20% dari ekuitas perusahaan atau lebih maka transaksi perusahaan merupakan transaksi material.

Kepentingan Auditor Terhadap Materialitas Dan Salah-saji

Auditor jelas sangat berkepentingan terhadap persoalan materialitas. SA seksi 312, “Risiko dan Materialitas Audit Dalam Pelaksanaan Audit” mengharuskan Auditor menentukan materialitas dalam 2 jenis aktivitas proses audit, yaitu:
  • Perencanaan audit dan perancangan prosedur audit; dan
  • Evaluasi kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan
Dalam perencanaan audit, auditor melakukan pertimbangan awal terhadap materialitas, dalam 2 tingkatan, yaitu:
1. Tingkatan Laporan Keuangan – Pada tingkat ini, materialitas dihitung sebagai “keseluruhan salah saji minimum” yang dianggap penting atau material atas salah satu laporan keuangan. Hal ini disebabkan karena laporan keuangan pada dasarnya adalah saling terkait satu sama lain dan sama halnya dengan prosedur audit yang dapat berkaitan dengan lebih dari satu laporan keuangan.
2. Tingkatan Saldo Akun – Pada tingkat ini, materialitas merupakan “salah saji terkecil” yang mungkin terdapat dalam saldo akun yang dipandang material. Audior, idealnya, perlu mempertimbangkan materialitas pada tingkat laporan keuangan (lihat di bawah)—bagaimanapun juga salah-saji yang tidak material secara individu bisa jadi material terhadap laporan keuangan bila digabungkan dengan saldo akun yang lain.
Pertimbangan materialitas pada saat perencanaan audit mungkin berbeda dengan pertimbangan materialitas pada saat evaluasi laporan keuangan karena alasan berikut ini:
  • Keadaan yang melingkupi berubah; atau
  • Adanya informasi tambahan selama proses audit; atau
  • Keduanya

Siapa Yang Bertanggungjawab Atas Materialitas dan Salah-saji?

Publik, terutama pemegang saham perusahaan, sering salah persepsi dalam hal ini, menganggap auditor (eksternal)-lah yang bertanggungjawab atas materialitas dan salah-saji. Bisa dipahami, mengingat mereka berasal dari dari berbagai latarbelakang dan profesi, lagipula merekalah yang membayar  auditor (meskipun kas diambil dari perusahaan).
Sementara akuntan, terutama auditor, tahu persis bahwa: isi laporan keuangan (apapun itu) adalah tanggungjawab manajemen perusahaan, termasuk materialitas dan salah-saji. Hal itu bisa dibaca pada “Management Representation Letter” yang salah satu isinya tegas menyatakan hal itu.
Bahwa auditor berkepentingan untuk menggalang bukti yang cukup, BENAR, tetapi itu semata-mata hanya untuk memberi “keyakinan yang masuk-akal” (reasonable assurance) bagi pengguna laporan keuangan bahwa, asersi (=laporan keuangan) manajemen perusahaan tidak mengandung salah-saji yang bersifat material.
Singkat katanya: auditor hanya bertugas untuk menemukan, bukan bertanggungjawab atas apa yang ditemukannya.
Sementara isi laporan keuangan—termasuk soal material/tak material dan salah-saji yang mungkin terkandung di dalamnya—tetap menjadi tanggungjawabnya manajemen perusahaan—yang secara teknis mendelegasikan tugas itu kepada akuntan penyusun lapora keuangan (internal atau eksernal).
Idealnya, menurut saya, akuntan penyusun laporan keuangan mesti sangat berhati-hati dalam mempertimbangkan dan menilai materialitas suatu transaksi. Sebagai sikap default: kecuali nilainya sangat sangat kecil (mungkin tidak sampai Rp 100), semua transaksi anggap material. Sedangkan akuntan eksternal, dalam menjalankan proses audit, sebaiknya bekerja maksimal (dengan menggunakan segenap kemampuannya) untuk menangkap hal-hal yang bisa menimbulkan salah-saji bersifat material (Note: sebentar lagi saya akan bahas mengenai sikap auditor terhadap salah-saji yang tak terkoreksi).
Saya percaya bahwa tak ada satupun akuntan penyusun laporan keuangan (baik eksternal maupun internal) yang dengan sengaja menyalahgunakan kelemahan akuntansi—termasuk subyektifitas ukuran materialitas—untuk alasan apapun. Saya perlu sampaikan ini dengan jelas.
Dari sekian banyak kasus yang pernah terjadi, fraud lebih banyak diinisiasi di level atas lalu diikuti oleh level-level di bawahnya, terutama dengan cara memanipulasi bukti transaksi (membuat bukti transaksi palsu, mengubah angka, atau menghilangkan bukti transaksi). Sedangkan akuntan, hanya menginput data berdasarkan berdasarkan bukti transaksi yang ada.
Itu sebabnya mengapa saya (penulis pribadi) tak pernah bosan menghimbau rekan-rekan akuntan internal dan eksternal (konsultan) yang menyusun laporan keuangan, baik secara langsung maupun lewat tulisan-tulisan saya di JAK ini, agar sangat berhati-hati. Khusus akuntan internal, agar selalu melakukan verifikasi yang cukup atas validitas bukti transaksi/informasi keuangan lainnya, sebelum dicatat—dengan harapan bisa mendeteksi sekaligus mencegah kemungkinan fraud, hingga ke titik yang paling rendah.
Dengan demikian, maka persoalan materialitas—yang menjadi ‘biang-kerok’nya salah-saji tak tekoreksi—telah kita bahas. Selanjutnya kita masuk ke persoalan “salah-saji’.

Type-type Salah-saji Dari Sudut Pandang Auditor (Eksternal)

Akuntan penyusun laporan keuangan, jelaslah harus memiliki sistim atau prosedur pengendalian khusus untuk mengurangi risiko adanya kesalahan informasi yang disengaja namun tak terdeteksi jika tanpa prosedur—yang bisa mengakibatkan salah-saji, sebagai alat penyaring awal.
Sementara itu, auditor eksternal—yang pastinya sudah dilengkapi dengan berbagai prosedur dan teknik—diharapkan agar menajalankan proses pemeriksaan sedemikian rupa, sehingga jika salah-saji lolos dari penyaringan akuntan internal bisa terdeksi di proses audit, sehingga laporan keuangan teraudit (audited financial statement) benar-benar bisa memberikan keyakinan yang cukup mengenai deteksi salah-saji material, termasuk salah-saji yang bersumber dari kesalahan semata (erroneous).
Dalam proses pemeriksaan, seorang auditor mengklasifikasikan salah-saji menjadi 2 kelompok atau kategori: (1) salah-saji telah diketahui; dan (2) kemungkinan salah-saji.
Salah-saji Telah Diketahui’ bisa timbul dari:
  • Pemilihan atau implementasi prinsip akuntansi yang salah
  • Kesalahan dalam pengumpulan, pemrosesan, pengelompokan, penginterpretasian, atau kelalaian dalam mengidentifikasi informasi/data yang relevan
  • Niat (dengan sengaja) untuk membuat pengguna laporan keuangan salah dalam mengambil keputusan
  • Niat (dengan sengaja) untuk menutupi pencurian tertentu
Kemungkinan Salah-saji’ bisa timbul dari:
  • Adanya perbedaan, dalam hal penilian, antara manajemen dan auditor mengenai estimasi-estimasi akuntansi dimana angka yang tersaji dalam laporan keuangan melampaui rentang estimasi yang dapat diterima menurut auditor.
  • Angka yang telah diproyeksikan ( istilah statistiknya “extrapolated”) oleh auditor berdasarkkan hasil-hasil dari prosedur ‘sampling’—baik statistikal atau non-statistikal—pada suatu populasi (data).
Auditor selanjutnya mengevaluasi item-item salah saji untuk kemudian dikelompokan ke masing-masing kelompok diatas. Seperti sudah disampaikan di atas, sesuai dengan standar audit, auditor bertanggungjawab untuk menemukan (dan mengelola) salah-saji, baik yang diketahui maupun yang masih berupa kemungkinan salah-saji, kecuali yang menurut auditor tergolong “sepele” atau “tidak penting”.
Dalam menilai “sepele” atau “tidak penting”, mengenai salah-saji, auditor mempertimbangkan apakah salah-saji yang ditemukan—baik secara individual maupun setelah digabung—tergolong material atau tidak material.

Bagaimana Auditor Menyikapi Salah-Saji?

Untuk “salah-saji telah diketahui”, auditor diwajibkan—oleh tuntutan profesinya—untuk meminta manajemen perusahaan (auditee) untuk melakukan koreksi terhadap masing-masing item salah-saji. Dalam banyak kasus, perusahaan (auditee) biasanya keberatan untuk memenuhi permintaan tersebut. Jika itu yang terjadi biasanya auditor perlu menjelaskan alasannya—secara terperinci. Jika masih tetap tidak mau, auditor biasanya menyertakan “sangkalan” (disclaimer) dalam opininya.
Sedangkan untuk “kemungkinan salah-saji”, diperlakukan sebagai berikut:
1. Jika berasal dari ekstrapolasi (proyeksi terhadap populasi dari uji secara sampling), maka auditor meminta manajemen untuk meneliti keseluruhan populasi dari mana sample diambil. Populasi ini bisa jadi berupa kelompok transaksi, saldo akun, atau informasi tambahan yang tercatum dalam disklosur laporan keuangan. Tujuan dari permintaan ini agar pihak menajemen perusahaan (auditee) menemukan semua salah-saji yang ada di dalam populasi, tanpa terkecuali—sehingga bisa melakukan koreksi yang diperlukan.
Misalnya: Dari sample yang ditarik dari data inventory, auditor menemukan kesalahan di beberapa transaksi. Dalam kasus seperti ini auditor akan meminta pihak manajemen untuk melakukan pemeriksaan sendiri, transaksi-per-transaksi, guna menemukan kesalahan-kesalahan lainnya, untuk dikoreksi.
2. Jika berasal dari perbedaan estimasi—antara auditor dengan estimasi perusahaan—maka auditor meminta pihak manajemen untuk meninjau kembali metode dan asumsi yang digunakan untuk melakukan estimasi, termasuk perhitungannya.
Misalnya: Nilai cadangan kerugian piutang tak tertagih. Bila estimasi perusahaan terlalu tinggi atau rendah dibandingkan dengan estimasi auditor, maka auditor meminta perusahaan untuk meninjau kembali metode pencadangan, asumsi beserta perhitungan yang dijadikan dasar dalam menentukan besarnya cadangan kerugian piutang.
Auditor diharapkan dapat berkomunikasi dengan pihak manajemen perusahaan setelah salah-saji ditemukan, yang manapun typenya. Makin cepat komunikasi dilakukan makin bagus, karena sangat mungkin manajemen membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk memenuhi permintaan auditor. Selanjutnya auditor meminta pihak manajemen melakukan koreksi atau meminta bukti transaksi/data/informasi tambahan. Perusahaan di sisi lainnya, diharapkan mampu (terutama sekali “mau”) menggunakan pertimbangan kualitatif dalam menilai suatu salah-saji—disamping kuantitatif.

Sumber:
http://jurnalakuntansikeuangan.com

Langkah-Langkah Dalam Proses Audit

Seperti sudah saya kemukakan di awal tulisan, seorang auditor menjalankan proses audit melalui 7 (tujuh) tahapan atau langkah. Yaitu:

  • Langkah-1: Membuat Perencana Audit (Audit Planning)
  • Langkah-2: Mengumpulkan dan Mengevaluasi Informasi Sehubungan dengan Auditee dan Lingkungannya
  • Langkah-3: Memeriksa Risiko Salah-Saji Yang Bersifat Material
  • Langkah-4: Merancang Respon Audit dan Prosedur Audit Lanjutan
  • Langkah-5: Menjalankan Audit Lanjutan
  • Langkah-6: Mengkaji Dan Memeriksa Kembali Hasil (Temuan) Audit
  • Langkah-7: Mengkomunikasikan Hasil (Temuan) Audit
Selanjutnya kita bahas masing-masing langkah tersebut satu-per-satu.

Langkah-1: Membuat Perencanaan Audit (Audit Planning)

Perencanaan audit yang dikenal dengan istilah “audit planning” dimulai dengan mempelajari permintaan (‘pesanan’) dari klien. Berdasarka permintaan ini, auditor membuat rencana kerja audit.
Tingkat kepadatan aktivitas dan waktu yang dibutuhkan dalam fase ini, bervariasi—tergantung apakah auditee (perusahaan yang akan diaudit) baru pertamakalinya ditangani atau sudah kesekian kalinya; perusahaan auditee baru biasanya membutuhkan perencanaan yang lebih banyak, sehingga membutuhkan waktu yang lebih panjang.
Dalam penyusunan rencana audit, ada beberapa faktor yang penting untuk dipertimbangkan oleh auditor, diantaranya:
1. Ekonomi – Secara teori, ada berbagai faktor ekonomi (lokal, nasional, dan internasional), terutama yang dianggap mempengaruhi situasi bidang usaha perusahaan auditee, yang perlu dipertimbangkan dalam penyusunan rencana audit. Namun dalam prakteknya sangat jarang dilakukan—kecuali untuk situasi yang sangat menghebohkan.
2. Bidang Usaha Perusahaan Auditee – Misalnya: bidang usaha perusahaan auditee adalah kontraktor, maka situasi umum bidang usaha perkontraktoran perlu menjadi pertimbangan dalam penyusunan rencana audit. Khusus faktor ini, auditor biasanya menggunakan pengalamannya di perusahaan-perusahaan lain yang sejenis.
3. Aktivitas Bisnis Perusahaan Auditee – Untuk perusahaan auditee baru, ini membutuhkan waktu yang relative lebih lama (dengan tingkat kepadatan aktivitas yang lebih tinggi) jika dibandingkan dengan perusahaan yang sudah pernah diaudit sebelumnya. Pemahaman mengenai aktivitas bisnis perusahaan auditee (khususnya auditee baru) diperoleh melalui berbagai aktivitas, antara lain:
  • Melakukan komunikasi (minta keterangan) dengan auditor sebelumnya, yang dikenal dengan istilah “predecessor auditor”; mengunjungi lokasi perusahaan (terutama dimana fasilitas dan aktivitas utama perusahaan berada);
  • Mempelajari laporan keuangan periode sebelumnya (sebelum dan setelah diaudit) dan laporan interim periode berjalan;
  • Mempelajari laporan auditor sebelumnya (jika sudah pernah diaudit);
  • Mempelajari laporan keuangan fiskal (termasuk SPT) periode sebelumnya;
  • Mempelajari laporan hasil audit pajak (jika sudah pernah diaudit); dan
  • Mempelajari laporan pajak bulanan jika ada.
Selain ketiga faktor utama di atas, auditor juga perlu meminta informasi (keterangan) dari manajemen perusahaan auditee guna memperoleh input yang lebih lengkap. Untuk auditee yang yang sudah pernah ditangani sebelumnya (sudah termasuk pelanggan), auditor biasanya hanya perlu berkomunikasi dengan pihak manajemen, kalau-kalau ada perubahan signifikan sehubungan dengan aktivitas bisnis auditee (misalnya: perubahan kepemilikan, manajemen, wilayah opersi yang diperluas, pengembangan produk baru, penggunaan sumber pembiayaan yang baru, dlsb). Pihak manajemen perusahaan biasanya diwakili oleh “komite audit” perusahaan auditee—yang terdiri dari dewan direksi, eksekutif, dan internal auditor.
Dengan berbagai informasi yang telah dihimpun dan dipelajari, auditor bisa membuat perencanaan audit yang lebih konkret untuk:
  • Meminta surat penugasan (engagement letter) dari klien
  • Menyusun team audit (auditor dan assistant) yang akan ditugaskan (menyangkut jumlah dan kompetensi/level auditor, biasanya managing partner langsung menunjuk nama)
  • Jadwal kerja audit (menyangkut waktu, lokasi, dan obyek yang akan diaudit dan siapa yang akan melaksanakan). Kecuali audit investigasi, ini biasanya disesuaikan dengan kebijakan operasional perusahaan, agar tidak menimbulkan polemic yang tidak perlu selama proses audit nantinya.
  • Budget audit (menyangkut total waktu dan perencanaan biaya yang diperlukan untuk melaksankan keseluruhan kegiatan audit).
Secara keseluruhan, bisa dibilang: disamping penentuan jadwal kerja, esensi audit planning adalah menentukan (dan penyusunan) strategy audit, yang akan diterapkan agar tujuan audit tercapai.

Langkah-2: Mengumpulkan dan Mengevaluasi Informasi Sehubungan dengan Auditee dan Lingkungannya

Mengumpulkan dan mengevaluasi informasi sehubungan dengan Auditee dan lingkungannya adalah aktivitas penting yang harus dilakukan oleh auditor untuk:
  • Mapping awal, sebelum melakukan pemeriksaan terhadap risiko salah-saji dalam laporan keuangan perusahaan auditee.
  • Merancang alur, waktu dan prosedur audit lebih lanjut
  • Membuat penilaian (judgment) awal, mengenai: materialitas, kesesuaian laporan keuangan auditee dengan prinsip-prinsip akuntansi, dan identifikasi awal mengenai wilayah yang memerlukan perlakuan audit khusus.
Fase kedua ini, diidentikan dengan apa yang disebut “Risk Assessment”—yang esensinya tiada lain adalah pemetaan kemungkinan adanya kesalahan dan penyimpangan (dalam obyek audit) lebih dini—sebelum risk assessment sesungguhnya dilakukan (di langkah berikutnya). Prosedur risk assessment di tahapan ini biasanya dilakukan dengan berbagai macam aktivitas, antara lain: meminta susunan kepemilikan perusahaan, susunan manajemen dan strukur organisasi secara keseluruhan, melakukan observasi dan inspeksi.
Melalui risk assessment procedure ini, auditor juga berusaha untuk memperoleh berbagai informasi sehubungan dengan: alur operasi perusahaan, kepemilikan, hubungannya dengan pemerintah, hubungan-hubungan istimewa dengan pihak tertentu, metode pembiayaan (debt/equity) jangka pendek dan panjang, misi dan visi perusahaan, strategi dan manajemen risiko yang diterapkan—yang menjadi dasar pijakan pihak manajemen perusahaan auditee dalam menilai kinerja keuangan perusahaan dan penyusunan sistim pengendalian internalnya.
Dengan melakuan itu semua, auditor bisa memperoleh gambaran awal mengenai asersi ( terdiri dari: saldo akun, kelompok transaksi dan disclosure) yang kemungkinan besar mengandungrisiko-salah-saji’ (material misstatement risk) tinggi.
ASPEK UTAMA, yang wajib masuk dalam petimbangan di tahap ini adalah aspek SISTIM PENGENDALIAN INTERN (Internal control) yang diterapkan di dalam perusahaan auditee.
Tentu. Tidak semua unsur dan aspek pengendalian internal control perusahaan auditee relevan dengan tujuan audit yang dilaksanakan. Pengendalian intern yang dianggap relevan oleh auditor adalah yang diperkirakan berpengaruh terhadap mampu-atau-tidaknya perusahaan auditee untuk membuat laporan keuangan yang sesuai dengan PSAK.
Seperti diuangkapkan dalam COSO Framework, pengendalian intern (internal control) didefinisikan sebagai suatu proses (yang dipengaruhi oleh dewan direksi, manajemen dan pegawai perusahaan) untuk memberikan jaminan akan terwujudunya:
  • Pelaporan keuangan yang handal (reliability of financial reporting);
  • Keefektifan dan efisisensi operasional perusahaan (effectiveness and efficiency of operations); dan
  • Kepatuhan terhadap peraturan dan perundang-undangan yang berlaku (compliance with applicable laws and regulations)
Dalam konteks audit, pengendalian intern terdiri dari 5 komponen, yang saling berubungan satu dengan lainnya, antra lain:
  • Lingkungan pengendalian
  • Pemeriksaan risiko
  • Aktivitas pengendalian
  • Informasi dan komunikasi
  • Pengawasan (monitoring)
Note: lebih detailnya, silahkan baca COSO Framework, yang baru-baru ini (per 2012) mengalami perubahan yang cukup signifikan.
Karena begitu pentingnya aspek pengendalian intern, dalam proses audit, maka auditor diwajibkan untuk memperoleh pemahaman yang cukup mengenai setiap penerapan kompenen internal control tersebut, di dalam perusahaan auditee, sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam pemeriksaan risiko salah-saji dan penyusunan strategi audit lanjutan.
Seperti telah disampikan di atas, untuk pemahaman yang cukup mengenai hal ini, auditor tidak saja meminta “dokumen prosedur dan kebijakan”—yang biasanya mencerminkan sistim pengendalian intern perusahaan auditee, tetapi juga melakukan pengamatan (observasi) dan inspeksi di lapangan untuk melihat apakah prosedur dan kebijakan perusahaan telah dilaksanakan dengan benar dan konsisten. Dalam prose ini, auditor selalu melakukan koordinasi dan komunikasi yang diperlukan dengan pigak internal auditor perusahaan.
Hal terakhir yang dilakukan oleh auditor, dalam fase ini, adalah mengasimilasikan dan mensitesiskan pemahaman semua informasi yang mungkin mempengaruhi proses audit secara keseluruhan—terutama sekali terkait dengan wilayah-wilayah yang dianggap mengandung risiko salah saji yang bersifat metrial.

Langkah-3: Memeriksa Risiko Salah-Saji Yang Bersifat Material (Risks of Material Misstatement)

Laporan keuangan (perusahaan auditee) terdiri dari rangkaian asersi (pernyataan) manajemen sehubungan dengan laba-rugi dan posisi keuangan perusahaan, yang presentasikan dalam bentuk transaksi, saldo akun dan diskolsur.
Menggunakan pemahaman yang di peroleh di langkah pertama dan kedua, auditor melakukan pemeriksaan risiko salah-saji yang bersifat material, baik dalam tingkat asersi yang relevan maupun dalam tingkat laporan keuangan secara keseluruhan.
Risiko salah saji yang bersifat material digolongkan menjadi 2 macam, yaitu:
  • Inherent Risk – Risiko salah-saji yang bersifat inherent alias tidak ada hubungannya dengan pengendalian internal; dan
  • Control Risk – Risiko yang ada hubungannya dengan efektifitas fungsi internal control (dalam hal ini, sistim pengendalian internal perusahaan auditee dianggap mengalami gagal fungsi atau minimal kurang efektif).
Untuk memastikan apakah risiko salah-saji besifat material memang ada atau tidak, konkretnya, auditor melakukan pemeriksaan terhadap: transaksi, saldo akun dan disklosur, yang dalam langkah-2 sebelumnya diperkirakan mengandung risiko salah saji yang tinggi. Untuk masing-masing asersi (transaksi, saldo akun dan disklosur), auditor mencari tahu:
  • Apa yang salah (atau tidak sesuai) di sini?
  • Bagaimana kesalahan (atau ketidaksesuaian) itu terjadi?
  • Berapa nominal/rupiah yang terlibat dalam salahan (ketidaksesuaian) itu?
Untuk setiap kesalahan (atau ketidaksesuaian) yang ditemukan—terutama yang bersifat material, seorang auditor biasanya berdiskusi dengan anggota team audit lainnya untuk mengetahui apakah anggota team lainnya menemukan kesalahan (ketidaksesuaian) yang sejenis (dengan pola/modus sejenis juga) atau tidak.
Jika iya, maka auditor biasanya mulai mencurigai adanya unsur kesengajaan di dalamnya, yang bisa saja mengarah ke tindakan fraud. Bila diperlukan (dan diminta oleh klien), maka team auditor bisa meminta bantuan team auditor khusus (yang memiliki komepetensi dan sertifikasi khusus) untuk melakukan investigasi fraud, yang biasanya dilakukan oleh Fraud Examiner (yang bertitel Certified Fraud Examiner = CFE).
Proses lain yang tak kalah pentingnya, dalam fase ini, adalah melakukan identifikasi terhadap apa yang disebut dengan “Significant Risk”, yaitu: risiko yang membutuhkan prosedur audit khusus.
Misalnya: Auditor sedang melakukan audit terhadap perusahaan kontraktor. Dalam perusahaan kontraktor, wilayah pengakuan pendapatan-dan-biaya cenderung mengandung risiko salah-saji yang tinggi. Dalam kondisi demikian, auditor bisa memutuskan bahwa wilayah pengakuan pendapatan-dan-biaya membutuhkan prosedur audit khusus.
Prosedur audit khusus yang dimaksudkan di sini yaitu,  auditor perlu:
  • Melakukan evaluasi terhadap rancangan sistim pengendalian yang mestinya bisa mencegah risiko tersebut (sering disebut “control test” saja); dan
  • Melakukan prosedur substantive (sering disebut “substantive test” saja), yang memiliki tautan jelas dengan risiko yang dimaksud.
(Catatan: kita akan bahas ini di fase berikutnya, langkah-4).
Sayang, ruang ini tidak cukup untuk menampung semua langkah yang diperlukan dalam audit. Terpaksa harus saya penggal sampai di sini dahulu. Di Bagian kedua (segera) akan saya bahas mengenai langkah berikutnya, yaitu:
  • Langkah-4: Merancang Respon Audit dan Prosedur Audit Lanjutan
  • Langkah-5: Menjalankan Posedur Audit Lanjutan
  • Langkah-6: Mengkaji Dan Memeriksa Kembali Hasil (Temuan) Audit
  • Langkah-7: Mengkomunikasikan Hasil (Temuan) Audit
Di bagian-2 nanti, saya akan lanjutkan sedikit mengenai significant risk, termasuk aspek lain yang mungkin membuat timbulnya significant risk, apa yang harus dilakukan oleh auditor dalam merespon hasil pemeriksaan risiko salah-saji yang bersifat material, bagaimana menjalankan prosedur audit lanjutan, mengevaluasi dan memeriksa kembali hasil audit, dan mengkomunikasikan hasil temuan audit. Untuk sementara, bersabar dahulu. Sampai bertemu di bagian kedua dari seri pengenalan prosedur audit ini.

Sumber:
http://jurnalakuntansikeuangan.com

GAMBARAN UMUM PROSES AUDIT

   - PROSES AUDIT
Tujuan menyeluruh dari suatu audit laporan adalah untuk menyatakan pendapat apakah laporan keuangan klien telah menyajikan secara wajar, dalam senua hal yang material sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum (GAAP).Prosess diagonostik untuk membuat pertimbangan tentang akun yang mungkin mengandung salah saji yang material serta memperoleh bukti tentang penyajian yang wajar dalam laporan keuangan melibatkan sejumlah langkah.
Bab ini berfokus pada tujuh langkah pokok yang diperlukan dalam perencanaan dan pelaksanaan audit laporan keuangan:
1. Memperoleh pemahaman tentang bisnis dan industri
2. Mengindefikasi asersi laporan keuangan yang relevan
3. Membuat keputusan tentang jumlah yang material bagi para pengguna laporan keuangan
4. Membuat keputusan tentang komponen risiko audit
5. Memperoleh bukti melalui prosedur audit, termasuk prosedur untuk memahami pengendalian intern, melaksanakan pengujian pengendalian, dan melaksanakan pengujian substantif
6. Menetapkan bagaimana menggunakan bukti untuk mendukung suatu pendapat audit, komunikasi kepada klien lain, serta jasa bernilai tambah
7. Mengkomunikasikan temuan-temuan.
Berikut ini adalah ikhtisar singkat bagaimana elemen-elemen ini dapat dipadukan bersama dalam pelaksanaan suatu audit. Seorang auditor harus mengembangkan pemahaman tentang bisnis dan industri agar dapat memahami substansi ekonomi suatu transaksi entitas dan bagaimana GAAP diterapkan dalam industri tersebut, serta untuk mengembangkan harapan tentang laporan entitas. Agar dapat mengelola audit tersebut dengan baik, maka auditor harus membagi audit menjadi audit-audit atas saldo akun pertama dan golongan transaksi, dan kemudian audit atas asersi laporan keuangan untuk setiap saldo akun dan golongan transaksi.
- ASERSI MANAJEMEN
Tujuan menyeluruh dari audit laporan keuangan adalah untuk menyatakan pendapat apakah laporan keuangan klien telah menyatakan secara wajar, dalamj semua hal yang material, sesuai dengan GAAP.Untuk mencapai tujuan tersebut, hal yang lazim dilakukan dalam audit adalah mengidentifikasi sejumlah tujuan audit yang spesifik bagi setiap akunyang dilaporankan dalam laporan keuangan. Tujan yang spesifik ini diambil dari asersi yang dibuat oleh manajemen dan dimuat dalam laporan keuangan.
Laporan keuangan terdiri dari asersi manajemen yang eksplisit dan implisit. Asersi ini merupakan hal yang penting karena menjadi pedoman auditor dalam pengumpulan bukti. Sebagai contoh, perhatikan komponen neraca berikut ini:
Aktiva Lancar:
Piutang Usaha, bersih $40252900
Untuk melaporkan pos ini dalam neraca, manajemen membuat dua asersi eksplisit, yaitu (1) piutang usaha tersebut memang ada, dan (2) Jumlah piutang usaha yang benar setelah dikurangi penyisihan piutang tak tertagih adalah $40252900. Manajemen juga membuat tiga asersi implisit sebagai berikut: (1) semua piutang usaha yang harus dilaporkan telah dilaporkan semuanya, (2) semua piutang usaha yang dilaporkantersebut adalah benar milik entitas, dan (3) semua pengungkapan yang sesuai berkaitan dengan piutang usaha telah dicantumkan dalam catatan atas laporan keuangan. Apabila ada salah satu asersi tersebut yang salah saji, berarti laporan keuangan telah salah saji secara material.
Asersi serupa merndasari semua komponen aktiva, kewajiban, pendapatan, dan beban dalam laporan keuangan. Sesuai dengan itu, Auditing Standard Board (ASB) dalam SAS 31, Evidential Matter (AU 326.03), telah mengakui lima kategori asersi laporan kuangan sebagai berikut:
1. Keberandaan atau keterjadian (existence or occurrence)
2. Kelengkapan (completeness)
3. Hak dan kewajiban (rights and obligations)
4. Penilaian dan alokasi (valuation or allocation)
5. Penyajian dan pengungkapan (presentation and disclosure)
Lima kategori asersi ini merupakan hal yang penting karena dapat emmbantu auditor memahami jenis salah saji potensial yang dapat terjadi dalam laporan keuangan, dan dapat membantu auditor mengembangkan perencanaan audit untuk mengumpulkan bukti yang berkaitan dengan kewajaran penyajina laporan keunagan. Dalam bagian tersebut akan disajikan uraian setiap kategori asersi beserta contohnya.
- KEBERADAAN ATAU KETERJADIAN
Asersi tentang keberadaan atau kejadian (existence or occurrence) berkaitan dengan apakah aktiva atau kewajiban entitas memang benar-benar ada pada tanggal tertentu dan apakah transaksi yang dicapat benar-benar telah terjadi selama periode tersebut.
- KELENGKAPAN
Asersi mengenai kelengkapan (completeness) berkaitan dengan apakah semua transaksi dan akun yang harus disajikan dalam laporan keuangan benar-benar telah dicantumkan.
- HAK DAN KEWAJIBAN
Asersi mengenai hak dan kewajiban (right and obligation) berkaitan dengan apakah aktiva telah menjadi entitas dan hutang memang telah menjadi kewajiban entitas pada suatu tanggal tertentu.
- PENILAIAN ATAU ALOKASI
Asersi mengenai penilaian atau alokasi (valuation or allocation) berkaitan dengan apakah komponen aktiva, kewajiban, pendapatan, dan beban telah dicantumkan dalam laporan kuangan dengan jumlah yang semestinya.
- PENYAJIAN DAN PENGUNGKAPAN
Asersi mengenai penyajian dan pengungkapan (presentation and disclosure) berkaitandengan pakah komponen tertentu laporan keuangan telah digolongkan, diuraikan, dan diungkapan sebagaimana mestinya.
- MATERIALITAS
Pernyataan konsep PASB no.2 mendefinisikan materialisasi (materiality) sebagai “besarnya pengabaian atau salah saji informasi akuntansi yang dalam kaitannya dengan kondisi di sekitarnya, akan memungkinkan pertimbangan pihak yang berkepentinganyang mengandalkan informasi tersebut akan berubah atau terpengaruh oleh pengabaian atau salah saji tersebut”.
Bagaiman konsep materilalitas ini dapat mempengaruhi proses audit? Pertama, auditor membuat pertimbangan awal mengenai materialitas sementara ia merencankan perikatan untuk membuat keputusan penting tintang lingkup audit. Kedua, konsep materialitas iniu juga menjadi pedoman auditor ketika mengevaluasi temuan audit. Apabila digunakan teknik penarikan sampel, auditor harus memproyeksikan salah saji yang diketahui dalam sampel pada populasi secara keseluruhan. Keputusan materialitas ini merupakan elemen kunci bagi suatu audit, karena akan menjadi pedoman auditor pada berbagai keputusan berikutnya tentang apa yang penting tau tidak penting dalam pembentukan pendapat atas laporan keuangan.
- RISIKO AUDIT
Laporan audit standar menjelaskan bahwa audit dirancang untuk memperoleh keyakinan yang memadai – bukan absolut – bahwa laporan keunagan telah bebas dari salah saji yang material. Karena audit tidak menjamin bahwa laporan keuangan telah bebas dari salah saji yang material, maka terdapat beberapa derajat risiko bahwa laporan keuangan mengandung salah saji yang tidak terdeteksi oleh auditor. SAS 47 (AU 312.02, Audit Risk and materiality in Conducting the Audit (Risiko Audit dan materialitas dalam Pelaksanaan Audit), mendefinisikan risiko audit sebagai berikut:
Risiko audit (audit risk) adalah risiko auditor tanpa sadar tidak melakukan modifikasi pendapat sebagaiman mestinya atas laporan keuangan yang mengandung salah saji material.
- KOMPONEN RISIKO AUDIT
Dalam praktik, seorang auditortidak hanya harus mempertimbangkan risiko audit untuk setiap saldo akun dan golongan transaksi saja , tetapi juga setiap asersi yang relevan dengan saldo akun dan golongan transaksi yang material.
- Risiko Bawaan
Risiko Bawaan adalah (inherent risk) adalah kerentalan suatu asersi terhadap kemungkinan salah saji yang material, dengan asumsi tidak terdapat pengendalian internal yang terkait.
- Risiko pengendalian
Risiko Pengendalian (control risk) adalah risiko terjadinya salah saji yang material dalam suatu asersiyang tidak akan dapat dicegah atau dideteksi secara tepat waktu oleh struktur pengendalian intern entitas.
- Risiko Deteksi
Risko deteksi (detection risk) adalah risiko yang timbul karena auditor tidak dapat mendeteksi salah sai material yang terdapat dalam satu asersi.
- BUKTI AUDIT
Bukti audit sangat mudah mempengaruhi sifat pekerjaan audit yang tercantum pada standar ketigha pekerjaan lapangan dari standar auditing yang berlaku umum (GAAS). Standar ketiga pekerjaan laporan menyatakan bahwa:
Bahan bukti (evidential matter) kompeten yang mencukupi dapat diperoleh melalui inspeksi, pengamatan, permintaan keterangan, dan konfirmasi, yang digunakan sebagai dasar yang layak untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan yang diaudit.
- KECUKUPAN BUKTI AUDIT
Elemen dari standar ketiga pekerjaan lapangan ini berkaitan dengan kuantitas bahan bukti. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pertimbangan auditor atas kecukupan meliputi:
1. Materialitas dan risiko
Secara umum, untuk akun yang material pada laporan keuangan diperlukan bukti yang lebih banyak dibandingkan untuk akun yang tidak material. Dengan demikian, dalam mengaudit sebuah perusahaan manufaktur, maka sifat, dan luasnya bukti audit untuk medukung tujuan audit atas akun persediaan akan lebih meyakinkan dibandingkan dengan bukti yang diperlukan untuk tujuan audit atas akun beban dibayar di muka.
2. Faktor-faktor ekonomi
Seorang auditor bekerja dalam batasan ekonomi yang menentukan bahwa kecukupan bukti harus diperoleh dalam batasan waktu dan biaya yang memadai. Dengan demikian, seorang auditor seringkali menghadapi keputusan apakah penambahan waktu dan biaya akan memberikan manfaat yang sepadan berupa perolehan bukti audit yang lebih meyakinkan.
3. Ukuran dan Karakteristik Populasi
Ukuran populasi berkaitan dengan jumlah item yang terdapat dalam populasi tersebut, seperti jumlah transaksi penjualan dalam jurnal penjualan. Ukuran populasi akuntansi mendasari banyak item laporan keunagan yang digunakan dalam penarikan sampel yang diperlukan untuk pengumpulan bukti audit. Secara umum, semakin besar populasinya akan semakin besar pula jumlah bukti yang diperlukan untuk memperoleh dasar yang memadai guna menarik kesimpulan tentang hal itu.
- GAMBARAN UMUM PROSES AUDIT
Tujuan menyeluruh dari suatu audit laporan adalah untuk menyatakan pendapat apakah laporan keuangan klien telah menyajikan secara wajar, dalam senua hal yang material sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum (GAAP).Prosess diagonostik untuk membuat pertimbangan tentang akun yang mungkin mengandung salah saji yang material serta memperoleh bukti tentang penyajian yang wajar dalam laporan keuangan melibatkan sejumlah langkah. Langkah-langkah ini dijelaskan dalam gambar 1.
Bab ini berfokus pada tujuh langkah pokok yang diperlukan dalam perencanaan dan pelaksanaan audit laporan keuangan:
1. Memperoleh pemahaman tentang bisnis dan industri
2. Mengindefikasi asersi laporan keuangan yang relevan
3. Membuat keputusan tentang jumlah yang material bagi para pengguna laporan keuangan
4. Membuat keputusan tentang komponen risiko audit
5. Memperoleh bukti melalui prosedur audit, termasuk prosedur untuk memahami pengendalian intern, melaksanakan pengujian pengendalian, dan melaksanakan pengujian substantif
6. Menetapkan bagaimana menggunakan bukti untuk mendukung suatu pendapat audit, komunikasi kepada klien lain, serta jasa bernilai tambah
7. Mengkomunikasikan temuan-temuan.
Berikut ini adalah ikhtisar singkat bagaimana elemen-elemen ini dapat dipadukan bersama dalam pelaksanaan suatu audit. Seorang auditor harus mengembangkan pemahaman tentang bisnis dan industri agar dapat memahami substansi ekonomi suatu transaksi entitas dan bagaimana GAAP diterapkan dalam industri tersebut, serta untuk mengembangkan harapan tentang laporan entitas. Agar dapat mengelola audit tersebut dengan baik, maka auditor harus membagi audit menjadi audit-audit atas saldo akun pertama dan golongan transaksi, dan kemudian audit atas asersi laporan keuangan untuk setiap saldo akun dan golongan transaksi.
- ASERSI MANAJEMEN
Tujuan menyeluruh dari audit laporan keuangan adalah untuk menyatakan pendapat apakah laporan keuangan klien telah menyatakan secara wajar, dalamj semua hal yang material, sesuai dengan GAAP.Untuk mencapai tujuan tersebut, hal yang lazim dilakukan dalam audit adalah mengidentifikasi sejumlah tujuan audit yang spesifik bagi setiap akunyang dilaporankan dalam laporan keuangan. Tujan yang spesifik ini diambil dari asersi yang dibuat oleh manajemen dan dimuat dalam laporan keuangan.
Laporan keuangan terdiri dari asersi manajemen yang eksplisit dan implisit. Asersi ini merupakan hal yang penting karena menjadi pedoman auditor dalam pengumpulan bukti. Sebagai contoh, perhatikan komponen neraca berikut ini:
Aktiva Lancar:
Piutang Usaha, bersih $40252900
Untuk melaporkan pos ini dalam neraca, manajemen membuat dua asersi eksplisit, yaitu (1) piutang usaha tersebut memang ada, dan (2) Jumlah piutang usaha yang benar setelah dikurangi penyisihan piutang tak tertagih adalah $40252900. Manajemen juga membuat tiga asersi implisit sebagai berikut: (1) semua piutang usaha yang harus dilaporkan telah dilaporkan semuanya, (2) semua piutang usaha yang dilaporkantersebut adalah benar milik entitas, dan (3) semua pengungkapan yang sesuai berkaitan dengan piutang usaha telah dicantumkan dalam catatan atas laporan keuangan. Apabila ada salah satu asersi tersebut yang salah saji, berarti laporan keuangan telah salah saji secara material.
Asersi serupa merndasari semua komponen aktiva, kewajiban, pendapatan, dan beban dalam laporan keuangan. Sesuai dengan itu, Auditing Standard Board (ASB) dalam SAS 31, Evidential Matter (AU 326.03), telah mengakui lima kategori asersi laporan kuangan sebagai berikut:
1. Keberandaan atau keterjadian (existence or occurrence)
2. Kelengkapan (completeness)
3. Hak dan kewajiban (rights and obligations)
4. Penilaian dan alokasi (valuation or allocation)
5. Penyajian dan pengungkapan (presentation and disclosure)
Lima kategori asersi ini merupakan hal yang penting karena dapat emmbantu auditor memahami jenis salah saji potensial yang dapat terjadi dalam laporan keuangan, dan dapat membantu auditor mengembangkan perencanaan audit untuk mengumpulkan bukti yang berkaitan dengan kewajaran penyajina laporan keunagan. Dalam bagian tersebut akan disajikan uraian setiap kategori asersi beserta contohnya.
- KEBERADAAN ATAU KETERJADIAN
Asersi tentang keberadaan atau kejadian (existence or occurrence) berkaitan dengan apakah aktiva atau kewajiban entitas memang benar-benar ada pada tanggal tertentu dan apakah transaksi yang dicapat benar-benar telah terjadi selama periode tersebut.
- KELENGKAPAN
Asersi mengenai kelengkapan (completeness) berkaitan dengan apakah semua transaksi dan akun yang harus disajikan dalam laporan keuangan benar-benar telah dicantumkan.
- HAK DAN KEWAJIBAN
Asersi mengenai hak dan kewajiban (right and obligation) berkaitan dengan apakah aktiva telah menjadi entitas dan hutang memang telah menjadi kewajiban entitas pada suatu tanggal tertentu.
- PENILAIAN ATAU ALOKASI
Asersi mengenai penilaian atau alokasi (valuation or allocation) berkaitan dengan apakah komponen aktiva, kewajiban, pendapatan, dan beban telah dicantumkan dalam laporan kuangan dengan jumlah yang semestinya.
- PENYAJIAN DAN PENGUNGKAPAN
Asersi mengenai penyajian dan pengungkapan (presentation and disclosure) berkaitandengan pakah komponen tertentu laporan keuangan telah digolongkan, diuraikan, dan diungkapan sebagaimana mestinya.
- MATERIALITAS
Pernyataan konsep PASB no.2 mendefinisikan materialisasi (materiality) sebagai “besarnya pengabaian atau salah saji informasi akuntansi yang dalam kaitannya dengan kondisi di sekitarnya, akan memungkinkan pertimbangan pihak yang berkepentinganyang mengandalkan informasi tersebut akan berubah atau terpengaruh oleh pengabaian atau salah saji tersebut”.
Bagaiman konsep materilalitas ini dapat mempengaruhi proses audit? Pertama, auditor membuat pertimbangan awal mengenai materialitas sementara ia merencankan perikatan untuk membuat keputusan penting tintang lingkup audit. Kedua, konsep materialitas iniu juga menjadi pedoman auditor ketika mengevaluasi temuan audit. Apabila digunakan teknik penarikan sampel, auditor harus memproyeksikan salah saji yang diketahui dalam sampel pada populasi secara keseluruhan. Keputusan materialitas ini merupakan elemen kunci bagi suatu audit, karena akan menjadi pedoman auditor pada berbagai keputusan berikutnya tentang apa yang penting tau tidak penting dalam pembentukan pendapat atas laporan keuangan.
- RISIKO AUDIT
Laporan audit standar menjelaskan bahwa audit dirancang untuk memperoleh keyakinan yang memadai – bukan absolut – bahwa laporan keunagan telah bebas dari salah saji yang material. Karena audit tidak menjamin bahwa laporan keuangan telah bebas dari salah saji yang material, maka terdapat beberapa derajat risiko bahwa laporan keuangan mengandung salah saji yang tidak terdeteksi oleh auditor. SAS 47 (AU 312.02, Audit Risk and materiality in Conducting the Audit (Risiko Audit dan materialitas dalam Pelaksanaan Audit), mendefinisikan risiko audit sebagai berikut:
Risiko audit (audit risk) adalah risiko auditor tanpa sadar tidak melakukan modifikasi pendapat sebagaiman mestinya atas laporan keuangan yang mengandung salah saji material.
- KOMPONEN RISIKO AUDIT
Dalam praktik, seorang auditortidak hanya harus mempertimbangkan risiko audit untuk setiap saldo akun dan golongan transaksi saja , tetapi juga setiap asersi yang relevan dengan saldo akun dan golongan transaksi yang material.
- Risiko Bawaan
Risiko Bawaan adalah (inherent risk) adalah kerentalan suatu asersi terhadap kemungkinan salah saji yang material, dengan asumsi tidak terdapat pengendalian internal yang terkait.
- Risiko pengendalian
Risiko Pengendalian (control risk) adalah risiko terjadinya salah saji yang material dalam suatu asersiyang tidak akan dapat dicegah atau dideteksi secara tepat waktu oleh struktur pengendalian intern entitas.
- Risiko Deteksi
Risko deteksi (detection risk) adalah risiko yang timbul karena auditor tidak dapat mendeteksi salah sai material yang terdapat dalam satu asersi.
- BUKTI AUDIT
Bukti audit sangat mudah mempengaruhi sifat pekerjaan audit yang tercantum pada standar ketigha pekerjaan lapangan dari standar auditing yang berlaku umum (GAAS). Standar ketiga pekerjaan laporan menyatakan bahwa:
Bahan bukti (evidential matter) kompeten yang mencukupi dapat diperoleh melalui inspeksi, pengamatan, permintaan keterangan, dan konfirmasi, yang digunakan sebagai dasar yang layak untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan yang diaudit.
- KECUKUPAN BUKTI AUDIT
Elemen dari standar ketiga pekerjaan lapangan ini berkaitan dengan kuantitas bahan bukti. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pertimbangan auditor atas kecukupan meliputi:
1. Materialitas dan risiko
Secara umum, untuk akun yang material pada laporan keuangan diperlukan bukti yang lebih banyak dibandingkan untuk akun yang tidak material. Dengan demikian, dalam mengaudit sebuah perusahaan manufaktur, maka sifat, dan luasnya bukti audit untuk medukung tujuan audit atas akun persediaan akan lebih meyakinkan dibandingkan dengan bukti yang diperlukan untuk tujuan audit atas akun beban dibayar di muka.
2. Faktor-faktor ekonomi
Seorang auditor bekerja dalam batasan ekonomi yang menentukan bahwa kecukupan bukti harus diperoleh dalam batasan waktu dan biaya yang memadai. Dengan demikian, seorang auditor seringkali menghadapi keputusan apakah penambahan waktu dan biaya akan memberikan manfaat yang sepadan berupa perolehan bukti audit yang lebih meyakinkan.
3. Ukuran dan Karakteristik Populasi
Ukuran populasi berkaitan dengan jumlah item yang terdapat dalam populasi tersebut, seperti jumlah transaksi penjualan dalam jurnal penjualan. Ukuran populasi akuntansi mendasari banyak item laporan keunagan yang digunakan dalam penarikan sampel yang diperlukan untuk pengumpulan bukti audit. Secara umum, semakin besar populasinya akan semakin besar pula jumlah bukti yang diperlukan untuk memperoleh dasar yang memadai guna menarik kesimpulan tentang hal itu.

CARA MUDAH DAN CEPAT BIKIN LAPORAN KEUANGAN DENGAN EXCEL

Cara ini sangat mudah dan paling cepat kalau Anda ingin bikin laporan keuangan dengan Excel. Bagi yang sudah terbiasa dengan Excel tentu akan lebih mudah memahaminya, bagi yang belum terbiasa dengan Excel, juga tidak akan sulit memahaminya, ikuti aja apa yang diuraikan di sini.
Cara ini sebenarnya adalah jalan pintas bikin laporan keuangan dan memotong jalur dari prosedur sistem akuntansi. Kalau membuat laporan keuangan sesuai dengan prosedur sistem akuntansi tentu sangat panjang, sedangkan Anda ingin membutuhkan laporan keuangan yang cepat. Kalau dengan prosedur sistem akuntansi, kita harus melakukan proses Jurnal > Buku Besar > Neraca Lajur > Laporan Keuangan (Neraca & Laba Rugi). Nah, melalui Excel dengan singkat kita potong jalur menjadi Jurnal > Laporan Keuangan (Neraca & Laba Rugi). Namun, pada pokoknya kedua prosedur tersebut menghasilkan output Laporan Keuangan yang sama.
Nah kalau Anda ingin memperoleh hasil laporan keuangan yang lebih cepat gunakan prosedur ini melalui Excel. Hal ini bukan berarti membuat suatu teori baru, tapi hanya semata terkait dengan alat bantu yang dapat mempercepat proses pembuatan laporan keuangan. Nah bagaimana caranya, berikut beberapa langkah yang dapat Anda lakukan, cukup 3 (tiga) langkah :
Langkah 1 : MEMBUAT DAFTAR AKUN
Buatlah daftar akun terlebih dulu sebagai sumber data untuk mengidentifikasi jurnal-jurnal yang akan kita lakukan nantinya pada sebuah form jurnal. Buatlah tabel DAFTAR AKUN pada sheet-1 dan isikan di dalamnya no akun, nama akun dan saldo awal akun (saldo laporan keuangan Neraca sebelumnya). Lengkapi pula kolom POS untuk tiap-tiap kelompok akun sebagai berikut :
- kelompok Aktiva : D (Debet)
- kelompok Hutang : K (Kredit)
- kelompok Ekuitas : K (Kredit)
- kelompok Harga Pokok : D (Debet)
- kelompok Pendapatan : K (Kredit)
- kelompok Biaya : D (Debet)


 Jumlahkan sisi Debet dan Kredit. Jumlah kedua sisi tersebut harus dalam keadaan seimbang (balance) sesuai dengan laporan keuangan (Neraca) sebelumnya.
Langkah 2 : MEMBUAT JURNAL
Buatlah tabel JURNAL UMUM pada sheet-2 sekaligus isikan transaksi di dalamnya seperti berikut. Jurnal yang kita gunakan adalah jurnal umum. Sebaiknya kelompokkan untuk tiap transaksi berdasarkan jenis transaksi seperti penerimaan kas, pengeluaran kas, penjualan, pembelian dan memorial.


Langkah 3 : MEMBUAT LAPORAN
Buatlah tabel laporan NERACA dan LABA RUGI pada sheet-3, mirip seperti tabel Daftar Akun (lihat langkah 1) dan modifikasi bagian-bagiannya. Buatlah rumus pada kolom DEBET dan KREDIT sebagai berikut.
- Rumus-1 kolom DEBET sel D5 :
=IF(AND(C5=”D”,D$2=”DEBET”),SUMIF(Sheet1!A:A,A5,Sheet1!D:D) +SUMIF(Sheet2!C:C,A5,Sheet2!E:E)-SUMIF(Sheet2!D:D,A5,Sheet2!F:F),0)
- Rumus-2 kolom KREDIT sel E5 :
=IF(AND(C5=”K”,E$2=”KREDIT”),SUMIF(Sheet1!A:A,A5,Sheet1!E:E) +SUMIF(Sheet2!D:D,A5,Sheet2!F:F)-SUMIF(Sheet2!C:C,A5,Sheet2!E:E),0)
Kemudian copy rumus tersebut ke baris di bawahnya sejajar dengan baris akun (copy ke baris ber tanda kotak merah).



Kemudian jumlahkan kolom DEBET / KREDIT Neraca maupun Laba Rugi. Selisihkan antara Jumlah DEBET dan KREDIT Laba Rugi sebagai Laba Bersih, kemudian nilai Laba Bersih tersebut letakkan ke dalam Neraca sebagai Pos Laba Bersih.
Nah hasilnya secara sempurna seperti gambar berikut.






CATATAN :
• Penggunaan tanda pemisah dalam formula rumus fungsi Excel bisa koma ( , ) atau titik koma ( ; ) tergargantung setting komputer. Nah formula di atas menggunakan koma ( , ). Jika tanda pemisah koma ( , ) tidak jalan, maka ganti menjadi titik koma ( ; ).
• Lihat contoh file langsung yang disertakan bersama artikel ini.
• Prosedur yang lebih lengkap dengan tampilan fitur yang lebih manarik saya tulis dalam sebuah buku berjudul Membuat Aplikasi Akuntansi GENERAL LEDGER dengan EXCEL. Di situ akan diajarkan dari proses membuat sampai menggunakannya. Bagi yang tidak ingin pusing-pusing merancang aplikasi, sudah tersedia file aplikasi siap pakai. Sistem aplikasi ini cocok untuk perusahaan menengah ke bawah atau kecil.

 ^^Semoga Bermanfaat^^

 sumber:
https://docs.google.com/document/d/1ELSm5gu1wOREBEdC84m5sokTcC5GJGhiHzjFp42kfgQ/edit