Rabu, 30 Mei 2012

Orang Bijak Taat Pajak, Benarkah?


Kali ini kita mengulas sekilas secara iseng-iseng saja tentang makna kata dari slogan “Orang bijak taat pajak“ yang sering didengung-dengungkan. Bahkan slogan tersebut terpampang dengan ilustrasi gambar di halaman depan situs Dirjen Pajak, yang bisa diakses di sini. Memang tidak menyebutkan slogan secara lengkap, cuma ajakan: “Ayo Taat Pajak!“.

Description: http://tax.blog.gunadarma.ac.id/wp-content/uploads/2012/05/Ayo-Taat-Pajak.jpg
“Ayo Taat Pajak“ di website Dirjen Pajak

Presiden pun tidak ketinggalan mengutip slogan tersebut dalam sambutannya pada acara penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak 2011 pada hari Senin, 19 Maret 2012, di Aula Mezzanine, Gedung Djuanda, kantor Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Jakarta. Kita kutip sebagian penyataan Presiden di situs dirjen pajak di sini:
Masyarakat harus taat membayar pajak karena pajak penting untuk dana membangun negara yang ujungnya untuk peningkatan kesejahteraan. Semoga kepatuhan dan kesadaran ini terus berkembang di negara kita. Saya lihat di jalan-jalan ada tulisan orang bijak bayar pajak. Semoga kita dituntun semua menjadi orang yang bijak,” himbau Presiden.

Description: http://tax.blog.gunadarma.ac.id/wp-content/uploads/2012/05/SBY-BanggaBayarPajak.jpg
Presiden mengajak jadi orang bijak dengan bayar pajak (sumber foto: www.pajak.go.id)


*****

Kita lihat makna secara harfiah dari kata: “bijak“ dan “taat“ menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring (bahasa baku dari “online“) yang bisa diakses di sini.
bi•jak a 1 selalu menggunakan akal budinya; pandai; mahir: bukan beta — berperi; engkau memang –;  atau 2 Mk pandai bercakap-cakap; petah lidah;
ta•at a 1 senantiasa tunduk (kpd Tuhan, pemerintah, dsb); patuh: Nabi Muhammad saw. menyeru manusia supaya mengenal Allah dan — kepada-Nya; 2 tidak berlaku curang; setia: ia adalah seorang istri yg –; 3 saleh; kuat beribadah: jadilah Anda seorang muslim yg –;
– sumpah menaati sumpah yg diucapkan; …“
Hmm, jadi bisa diartikan bahwa taat pajak itu merupakan ciri dari orang yang menggunakan akal budinya, pandai, dan mahir. Atau, frasa “taat bayar“ secara harfiah identik dengan frasa “taat kepada nabi“. Mohon maaf, ini utak-atik kata-kata saja, tidak bermaksud menyejajarkan ketaatan bayar pajak dengan kayakinan agama.
Mungkin yang lebih tepat atau mendekati makna sebenarnya adalah pengertian taat sebagai “tidak berlaku curang“. Jadi orang bijak tidak akan berlaku curang, yaitu dengan tidak taat bayar pajak. Apalagi jika kekayaan dan hartanya tergolong berlimpah.
*****
Adakah kata atau frase “orang bijak“ pada peraturan perundangan? Kita simak dulu undang-undang perpajakan. Makna orang bijak bisa disematkan pada individu atau badan yang disebut sebagai “wajib pajak“.
Sebelum kita lihat makna wajib pajak atau obyek pajak, kita lihat dulu tentang undang-undang yang berkenaan dengan pajak ini. Ternyata, beberapa Undang-Undang tergolong “jadul“ karena sebagian besar diterbitkan pada tahun 1983, walaupun sudah ada beberapa kali adendum atau perubahan, misalnya:
  1. Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan
  2. Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
Pemerintah sendiri memang berniat untuk melakukan penggantian undang-undang perpajakan, seperti diberitakan di sini. Niatnya tentu saja untuk semakin meningkatkan penerimaan pajak. Bukan hanya pemerintah saja, warga negara pun telah melakukan permohonan uji materi (udicial Review) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Namun upaya tersebut ditolah Mahkamah Konsitusi seperti tercantum dalam siaran pers dari Dirjen Pajak di sini.
Nah sekarang kita balik lagi ke istilah “wajib pajak“. Acuannya adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan. Pada pasa 1 ayat 2 tertulis:
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Apa saja hak dan kewajiban wajib pajak, silakan lihat saja pada naskah undang-undangnya di sini.
*****
Jadi, benarkan logikanya jika dari slogan itu saya katakan:
“Orang tidak bijak tidak taat pajak”, atau
“Orang taat pajak pasti orang bijak”.
Menurut Saya, memang slogan “Orang bijak taat pajak” lebih mengedepankan ajakan bagi semua warga negara agar taat membayar pajak karena secara teoritis, penerimaan pajak tersebut akan digunakan oleh negara untuk membangun bangsa juga. Dan makna yang lebih penting, orang bijak pun tidak hanya disematkan pada pembayar pajak, namun berlaku juga bagi pemanfaatan pajak oleh pemerintah.
Meskipun topik kali ini iseng-iseng saja, apa pendapat Anda tentang slogan tersebut?

OPINI saya :
Menurut saya dengan slogan Orang Bijak Taat Pajak,  Namun Penggunaan pajak yang pasti adalah untuk tambahan pendapatan negara, selain dari ekspor, penerbitan obligasi, SBI dan pinjaman luar negeri. Alokasinya mulai dari  pembangunan infrastruktur, investasi, hingga subsidi pemerintah terlepas dari penyelewengan oknum2 tertentu, bukan berarti wajib pajak kemudian tidak membayar pajak. Saat ini pemerintah sudah melakukan berbagai usaha untuk mengurangi kebocoran2 anggaran negara, diantaranya dengan peranan KPK.
Tetapi akankah arti bijak dalam konteks pemenuhan kewajiban ke negara dalam bentuk pajak selalu diarahkan kepada wajib pajak. Pemangku kepentingan tidak hanya ditujukan kepada masyarakat individu dan badan usaha.Dengan kemungkinan terciptanya masyarakat sadar pajak merupakan satu pekerjaan rumah. Sejauh mana intensitas keterlibatan penuh dari pemerintah untuk memberdayakan arti dan manfaat dari pajak ini sendiri. Ketangguhan dan penguasaan materi atas ruang lingkup persoalan landasan utama. Sering kali ditemui adanya ketidakmampuan petugas pajak di lapangan memahami sisi yang paling penting dari perpajakan. Menciptakan budaya “Orang Bijak Taat Pajak” tidak cukup hanya ditujukan kepada pembayar pajak, bahkan bisa disebut dengan Orang Cerdik Tidak Punya NPWP, dan Orang Beruntung Tidak Tertangkap Walaupun Tidak Punya NPWP .
Namun di sisi lainnya, pajak juga dipahami sebagai sumbangan paksaan dari penguasa yang digunakan untuk memperoleh uang atau pemasukan. Keberadaan pajak yang dipahami sebagai suatu paksaan tentunya juga akan muncul ekses lainnya, yaitu adanya perlawanan wajib pajak berbentuk keengganan berupa penghindaran membayar pajak. Ada berbagai alasan masyarakat sebagai wajib pajak menolak atau menghindari membayar pajak, diantaranya masih minimnya penghasilan, akan berkurangnya harta, tidak jelasnya distribusi pajak, dan kekhawatiran terjadinya penggelapan pajak. Dengan salah satu contohnya “Munculnya kasus Gayus Tambunan”, betapa rakyat merasa didzholimi dan dikhianati, oleh praktek-praktek penggelapan pajak dengan berbagai modus. Perasaan kecewa dan marah kemudian memunculkan sebuah pembenaran yang diwujudkan dengan sebuah keengganan terhadap kewajiban negara (membayar pajak) itu.
Lantas, apakah kemudian dijadikan sebuah alasan untuk melakukan Kekhawatiran dan keengganan membayar pajak ? Tentu tidak, perlu solusi yang cerdas, dengan kesadaran bersama melaksanakan kewajiban, selain itu harus ada transparansi pendistribusian hasil pajak dan perlunya pengawasan yang ketat bagi para petugas pajak. Pengawasan tidak hanya internal, melainkan juga eksternal. Dibutuhkan peran masyarakat untuk mengawasi dan diperlukan peningkatan akuntabilitas bagi Direktorat Jenderal Pajak, dengan dikeluarkannya kebijakan pemerintah tentang adanya audit dari BPK atau lembaga lain yang berkompeten. Jadi, tidak perlu ada lagi dilematisasi bagi wajib pajak untuk melaksanakan kewajibannya membayar pajak .