Jumat, 28 September 2012

Sejarah Awal Mula Bahasa Indonesia


NAMA : RINDY AGUSTIN
NPM : 25210987
KELAS : 3EB21


Bangsa Melanesia menggunakan bahasa Indonesia, sebagaimana bahasa ini adalah “bahasa pemersatu”, yang mendapat tempat utama dalam media komunikasi formal, baik sebagai bahasa teks maupun lisan, disekolah, perkantoran dan tentu saja pada media cetak dan elektronik.
Memang ada sisi baiknya, bahwa ‘bahasa Indonesia’ memainkan peran penting sebagai “jembatan” komunikasi menerobos diversitas linguistik yang berbeda satu sama lain (termasuk di Papua), dan memungkinkan para penuturnya menjangkau dunia pendidikan modern. Namun mesti disadari pula akan sisi buruknya, terutama bahwa ‘bahasa Indonesia’ menjadi dominan sehingga bahasa-bahasa lain keumgkinan akan tersisihkan. Entah bahasa Batak, Jawa, Bali dan termasuk 250 bahasa etnis Melanesia di tanah Papua.  Padahal Bahasa Indonesia baru digunakan secara serius sejak 1950 di Papua oleh para pendakwah dan pejabat kolonial dalam rangka ‘menyatukan’ wilayah Papua dengan wilayah Hindia Belanda lainnya. Hal ini sering dengan kebijakan diskriminasi kolonial Belanda yang hanya memperbolehkan bahasa Belanda diajarkan pada garis keturunan tertentu saja.
Apabila menengok lebih jauh ke masa sebelumnya, maka bangsa Melanesia sebenarnya belum cukup dikenal para nasionalis Indonesia, selain sebagai koloni Belanda yang dalam banyak hal tidak terlibat langsung dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. 
Ini berarti bangsa Melanesia, tidak terlibat dalam beberapa proses sejarah penting, terkait dengan penggunaan bahasa Indonesia. Pertama, saat bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan pada Sumpah Pemuda 1928, tidak ada yang mewakili bangsa Papua dalam peristiwa tersebut. Kedua, bahasa Indonesia dianjurkan semasa pendudukan Jepang untuk menggusur bahasa Belanda, hal itu tidak terjadi di Papua, apalagi karena pertimbangan militer dan kondisi sosial politik waktu itu, Jepang membagi Hindia Belanda menjadi tiga wilayah koloni terpisah, dan Papua berada dibawah Angkatan Laut yang berpusat di Makasar, ketiga, saat bahasa Indonesia dipergunakan sebagai wahana perlawanan menyerang kolonialisme yang dipuncaki proklamasi kemerdekaan RI 1945, justru bangsa Papua belum ‘mengenal’ NKRI.
Dari tiga fakta ini, bisa dibilang bahasa Indonesia adalah produk historis yang dalam prosesnya tidak sepenuhnya melibatkan bangsa Melanesia. Barulah pada tahun 1963 ketika Orde Lama merencanakan operasi Trikora, dan disusul pelaksanaan Pepera semasa Orde Baru tahun 1969 bahasa Indonesia mulai dijadikan ‘bahasa resmi’ di Papua.
Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia yang sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Dasar RI 1945, Pasal 36. Ia juga merupakan bahasa persatuan bangsa Indonesia sebagaimana disiratkan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Meski demikian, ia hanya sebagian kecil dari penduduk Indonesia yang benar-benar menggunakannya sebagai bahasa ibu karena dalam percakapan sehari-hari yang tidak resmi masyarakat Indonesia lebih suka menggunakan bahasa daerahnya masing-masing sebagai bahasa ibu seperti bahasa Melayu pasar, bahasa Jawa, bahasa Sunda, dll. Untuk sebagian besar lainnya bahasa Indonesia adalah bahasa kedua dan untuk taraf resmi bahasa Indonesia adalah bahasa pertama. Bahasa Indonesia ialah sebuah dialek bahasa Melayu yang menjadi bahasa resmi Republik Indonesia Kata “Indonesia” berasal dari dua kata bahasa Yunani, yaitu Indos yang berarti “India” dan nesos yang berarti “pulau”. Jadi kata Indonesia berarti kepulauan India, atau kepulauan yang berada di wilayah India
Bahasa Indonesia diresmikan pada kemerdekaan Indonesia, pada tahun 1945. Bahasa Indonesia merupakan bahasa dinamis yang hingga sekarang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan, maupun penyerapan dari bahasa daerah dan asing. Bahasa Indonesia adalah dialek baku dari bahasa Melayu yang pokoknya dari bahasa Melayu Riau sebagaimana diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara dalam Kongres Bahasa Indonesia I tahun 1939 di Solo, Jawa Tengah, “yang dinamakan ‘Bahasa Indonesia’ yaitu bahasa Melayu yang berasal dari ‘Melajoe Riaoe’, akan tetapi dalam Kongres Bahasa Indonesia II 1954 di Medan,  Sumatra Utara, “…bahwa asal bahasa Indonesia ialah bahasa Melayu. Dasar bahasa Indonesia ialah bahasa Melaju jang disesuaikan dengan pertumbuhannja dalam masjarakat Indonesia”.

Secara sejarah, bahasa Indonesia merupakan salah satu dialek temporal dari bahasa Melayu yang struktur maupun khazanahnya sebagian besar masih sama atau mirip dengan dialek-dialek temporal terdahulu seperti bahasa Melayu Klasik dan bahasa Melayu Kuno. Secara sosiologis, bolehlah kita katakan bahwa bahasa Indonesia baru dianggap “lahir” atau diterima keberadaannya pada tanggal 28 Oktober 1928. Secara yuridis, baru tanggal 18 Agustus 1945 bahasa Indonesia secara resmi diakui keberadaannya.
Fonologi dan tata bahasa dari bahasa Indonesia cukuplah mudah. Dasar-dasar yang penting untuk komunikasi dasar dapat dipelajari hanya dalam kurun waktu beberapa minggu. Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang digunakan sebagai penghantar pendidikan di perguruan-perguruan di Indonesia.
Bahasa Melayu di Indonesia kemudian digunakan sebagai lingua franca (bahasa pergaulan), namun pada waktu itu belum banyak yang menggunakannya sebagai bahasa ibu. Biasanya masih digunakan bahasa daerah (yang jumlahnya bisa sampai sebanyak 360).
Awal penciptaan Bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa bermula dari Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Di sana, pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, dicanangkanlah penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa untuk negara Indonesia pascakemerdekaan. Soekarno tidak memilih bahasanya sendiri, Jawa (yang sebenarnya juga bahasa mayoritas pada saat itu), namun beliau memilih Bahasa Indonesia yang beliau dasarkan dari Bahasa Melayu yang dituturkan di Riau.
Bahasa Melayu Riau dipilih sebagai bahasa persatuan Negara Republik Indonesia atas beberapa pertimbangan sebagai berikut:
Jika bahasa Jawa digunakan, suku-suku bangsa atau puak lain di Republik Indonesia akan merasa dijajah oleh suku Jawa yang merupakan puak (golongan) mayoritas di Republik Indonesia.
Bahasa Jawa jauh lebih sukar dipelajari dibandingkan dengan bahasa Melayu Riau. Ada tingkatan bahasa halus, biasa, dan kasar yang dipergunakan untuk orang yang berbeda dari segi usia, derajat, ataupun pangkat. Bila pengguna kurang memahami budaya Jawa, ia dapat menimbulkan kesan negatif yang lebih besar.
Bahasa Melayu Riau yang dipilih, dan bukan Bahasa Melayu Pontianak, atau Banjarmasin, atau Samarinda, atau Maluku, atau Jakarta (Betawi), ataupun Kutai, dengan pertimbangan pertama suku Melayu berasal dari Riau, Sultan Malaka yang terakhirpun lari ke Riau selepas Malaka direbut oleh Portugis. Kedua, ia sebagai lingua franca, Bahasa Melayu Riau yang paling sedikit terkena pengaruh misalnya dari bahasa Tionghoa Hokkien, Tio Ciu, Ke, ataupun dari bahasa lainnya.
Pengguna bahasa Melayu bukan hanya terbatas di Republik Indonesia. Pada tahun 1945, pengguna bahasa Melayu selain Republik Indonesia masih dijajah Inggris. Malaysia, Brunei, dan Singapura masih dijajah Inggris. Pada saat itu, dengan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, diharapkan di negara-negara kawasan seperti Malaysia, Brunei, dan Singapura bisa ditumbuhkan semangat patriotik dan nasionalisme negara-negara jiran di Asia Tenggara.
            Dengan memilih Bahasa Melayu Riau, para pejuang kemerdekaan bersatu lagi seperti pada masa Islam berkembang di Indonesia, namun kali ini dengan tujuan persatuan dan kebangsaan.Bahasa Indonesia yang sudah dipilih ini kemudian distandardisasi (dibakukan) lagi dengan nahu (tata bahasa), dan kamus baku juga diciptakan. Hal ini sudah dilakukan pada zaman Penjajahan Jepang.

BAHASA SEBAGAI JATI DIRI


1NAMA : RINDY AGUSTIN
NPM : 25210987
KELAS :3EB21
.                 
1. Bahasa menunjukkan bangsa
Dalam konteks Indonesia dan berbagai hal yang menyangkut keindonesiaan, pengaji ulangan terhadap “butir mutiara” itu akan tetap penting dan selalu relevan, terutama sehubungan dengan ciri keindonesiaan yang multi-etnis, multikultural, dan (yang berakibat pada) multi-lingual.
Dua hal yang menyangkut perilaku bahasa :
·         Pertama, pada saat kita berbahasa Indonesia seharusnya kita menggunakannya sedemikian rupa sehingga jati diri kita sebagai bangsa Indonesia tetap tampak dan terjaga.
·         Kedua,pada saat kita menggunakan bahasa daerah, hendaknya bahasa daerah yang kita gunakan itu juga mencerminkan jati diri keetnisan kita masing-masing.
Dengan kata lain, jati diri sebagai bangsa ataupun suku bangsa/kelompok etnis perlu ditampilkan dalam setiap pandangan, sikap, dan perbuatan yang salah satu bentuk pengungkapannya adalah perilaku berbahasa.

2. Pemahaman kita terhadap jati diri bangsa lazim menggunakan konsep kebudayaan (dalam arti seluas-luasnya) sebagai kerangka acuan.
Apabila jati diri itu diukur dengan menggunakan parameter perilaku berbahasa, maka konsep kebudayaan itu perlu difokuskan pada seberapa jauh acuan yang lazim disebut faktor sosial budaya. Dampak faktor sosial budaya terhadap perilaku berbahasa ini, seharusnya tidaklah semata-mata  persoalan yang diakibatkan oleh pemakaian bahasa Indonesia dan bahasa daerah kelompok etnisnya yang sangat dipengaruhi dan diwarnai oleh hubungan emosional yang bersangkutan terhadap kedua jenis bahasa itu.

3.  Melalui butir ke-3 Sumpah Pemuda 1928
Bahasa Melayu telah di angkat sebagai bahasa persatuan bahasa Indonesia dengan nama bahasa Indonesia. Meskipun sesungguhnya butir ke-3 Sumpah Pemuda itu merupakan pernyataan bersifat politis.
-           Bahasa Indonesia bahkan mempunyai kedudukan yang lain, yaitu sebagai bahasa negara (Pasal 36 UUD 1945).
-          Yang penting dalam hal ini adalah penjelasanya yang menyebutkan bahwea bahasa-bahasa daerah yang dipelihara secara baik-baik oleh rajyatnya akan dihormati dan dipelihara juga oleh negara. Selain itu, disebutkan juga bahwa bahasa-bahsa daerah itu juga merupakan sebagian kebudayaan Indonesia yang hidup.
-          Secara sederhana hal itu dapat diartikan bahwa bahasa daerah yang bersangkutan digunakan sebagai alat perhubungan dalam lingkungan keluarga dan masyarakat daerahnya.

4. Upaya mencerdaskan kehidupan berbangsa,  perlu terus dilakukan dalam berbagai sektor kehidupan dengan mengoptimalkan potensi dan pemanfaatan bahasa Indonesia sebagai bahsa negar. Pengoptimalan potensi bahasa Indonesia mengandung makna ganda, yaitu pemantapan norma bahsa yang dibarengi pemerkayaan kosakata berikut istilahnya. Diupayakan melalui pemanfataan sumber-sumber di luar bahasa Indonesia, baik yang terdapat dalam bahasa daerah maupun bahasa asing.
Melalui pemantapan norma bahsa dan pemerkayaan kosakata serta istilahnya itu, bahasa Indonesia diharapkan tetap berperan sebagai alat pengungkap yang efektif untuk berbagai pikiran, pandangan, dan konsep. Pemerkaya kosakata dan istilah bahasa Indonesia merupakan proses yang sudah sangat alamiah sifatnya dalamsetiap peristiwa kontak bahasa. Yang perlu diupayakan ialah agar bahasa yang berstatus lemah menggali dan memanfaatkan sumber-sumber kekayaan bahasa yang berstatus kuat untuk kepentingan diri nya tanpa harus mengorbankan identitas atau jati dirinya. Adapun istilah dan kata yang sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia harus kita hindari pemakaiannya karena hall itu akan mengotori atau mencemari ciri keindonesiaan bahasa persatuan dan bahsa negara kita. Pemantapan norma bahsa dan pemerkayaan kosakata berikut peristilahannya itu harus diupayakan tanpa harus mengorbankan ciri keindonesiaan bahasa indonesia sebagai lambang jati diri bangsa.

5.  Kecendrungan sosiolinguistik yang senantiasa bergerak mengikuti perubahan sosial budaya, bila dihubungkan dengan pemakaian bahsa Indonesia dan bahasa daersh, akan tetapi jelas memperlihatkan perbedaan peran di antara kedua jenis bahasa itu. Kita dapat pula menentukan dan menarik garis pembatas yang transparan dalam pemakaian bahasa Indonesia dan bahsa daerah dengan tolok ukur sikap batin, hubungan emosional, dan tingkay keakraban yang sesuai untuk jenis bahasa yang akan digunakan.

6. Fenomena kebahasaan yang menarik diamati,
 ialah adanya semacam tarik-menarik antara ciri keindonesiaan dan ciri kedaerahan pada diri seseorang yang sedang berbahasa Indonesia di depan khalayak umum. Ketiga aspek yang telah disebutkan, yaitu :

-          sikap batin,
-          hubungan emosional, dan
-          keakraban menentukan kecenderungan berbahasa yang pada dasarnya akan menentukan bersangkutan lebih condong kepada ciri keindonesiaan atau ciri kedaerahanya.

7. Semua pihak yang harus mengambil posisi dan peran yang cocok , untuk menerjemahkan butir ke-3 Sumpah Pemuda 1928. Para ahli bahasa berkewajiban mengembangkan bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi yang mantap dan modern. Para guru, wartawan, pengarang, dan tokoh masyarakat serta pejabat negara perlu menyadari dirinya sebagai tokoh yang akan diteladani oleh masyarakat luas dalam hal bebahasa. Sementara itu, masyarakat umum diharapkan untuk memperlihatkan sikapnya yang positif terhadap bahasa Indonesia.


http://hatmanbahasa.wordpress.com/2010/05/30/bahasa-sebagai-jati-diri-bangsa