Auditor, dalam menjalankan tugasya, sering dihadapkan pada
persoalan materialitas dan salah-saji, terutama salah-saji yang
dibiarkan begitu saja oleh penyusun laporan keuangan, yang dari perspektif auditor eksternal dikenal dengan istilah “salah saji tak terkoreksi” (uncorrected misstatement).
Materilitas dan salah-saji tak terkoreksi memiliki hubungan yang sangat
erat. Apa hubungan antara materialitas dan salah-saji, bagimana sikap
auditor terhadap materialitas dan salah-saji tak terkoreksi? Itulah
topik yang dibahas dalam tulisan ini.
Kita mulai dengan melihat, terlebih dahulu, mengapa timbul salah-saji yang tak terkoreksi, apa hubungannya dengan persoalan materialitas, setelah itu baru kemudian masuk ke sikap auditor terhadap salah-saji tak terkoreksi.
Dari sisi penyusun laporan keuangan (entah akuntan internal atau konsultan), pertimbangan ‘material/tidak material’ seringkali dipengaruhi oleh faktor lain, terutama batas akhir penyampaian laporan keuangan (relevansi), disamping keinginan untuk meminimalkan biaya yang timbul dari proses penyusunan laporan.
Mereka yang kebetulan bekerja untuk sebuah perusahaan, saya yakin bisa membayangkan situasi berikut ini:
Setelah ngos-ngosan mengejar batas akhir penyampaian laporan keuangan, tanggl 2 Januari 2013, akhirnya berhasil merampungkan lapora keuangan. Setelah diteliti sekilas, laporan keuangan dikirimkan ke semua jajaran manajemen perusahaan.
Sekembalinya ke meja, penyusun laporan meneiliti kembali item-item yang tersaji dalam laporan keuangan—yang printoutnya sudah dibagi-bagikan ke pihak manajemen, lalu menemukan beberapa kesalahan. Si penyusun laporan berpikir, “Ah.. biarin deh, sudah terlanjur dilaporkan, lagi pula nggak material ini juga”.
Bisa dibilang, konsep “materialitas” mengandung unsur subyektifitas yang tinggi.
Dalam seknario yang lebih parah, sudah banyak terjadi di luar sana, pertimbangan materialitas banyak digunakan sebagai alasan untuk membenarkan pembiaran salah-saji, sejak di awal, bahkan untuk kesalahan yang disengaja. Adalah kenyatakaan bahwa pertimbangan materialitas kerap disalahgunakan—tentunya oleh manajemen yang tidak disadari oleh akuntan.
Persoalan ini penting bagi auditor, tetapi lebih penting lagi bagi akuntan penyusun laporan keuangan. Idealnya, seorang akuntan yang menyusun laporan keuangan seharusnya tidak mengorbankan akurasi dan keandalan untuk alasan relevansi (ketepatwaktuan). Para akuntan peyusun laporan keuangan, oleh standar, diharapkan mampu menggunakan pertimbangan materialitas secara profesional—tanpa mengurangikeandalan dan ketepatwaktuan laporan.
Tahu harus bersikap apa ketika menumakan salah-saji adalah satu hal penting bagi seorang auditor. Memahami konsep materialitas—yang idealnya lebih mumpuni dibandingkan akuntan penyusun laporan keuangan—adalah hal yang pokok; bagaimana bisa menentukan sikap profesional, ketika menemukan salah-saji, jika tidak tahu batasan materialitas?
Materilitas berdasarkan persentasepun, sampai saat ini, masih sering menjadi bahan perdebatan—baik di kalangan praktisi maupun akademisi.
Materialitas, oleh FASB, didefinisikan sebagai:
“besarnya suatu kelalaian atau salah saji, dalam laporan keuangan, yang membuat pengguna laporan terpengaruh oleh informasi yang dihilangkan, atau membuat keputusan berbeda jika informasi yang benar diketahui.”
Meskipun para pakar dan regulator telah berusaha membuat definisi materialitas yang bisa disepakati secara global, tetap saja belum menghasilkan batasan yang pasti mengenai konsep materialitas; unsur subyektifitas yang melekat pada konsep ini masih tetap tinggi. Sehingga masih sulit untuk memisahkan transaksi bersifat tidak material dengan yang material.
Celakanya lagi sering disalahgunakan untuk kepentingan tertentu, termasuk kepentingan untuk memperoleh keuntungan pribadi/perusahaan—dengan menjadikan pertimbangan materialitas sebagai tameng untuk tidak melakukan koreksi pada item yang salah-saji.
Materialitas, sebagai sebuah kriteria, mengandung aspek kuantitatif sekaligus kualitatif, dan suatu transaksi bisa dianggap tidak material jika kedua aspek ini sudah dipertimbangkan dan memang benar-benar tidak material atau tidak relevan.
Meskipun penilaian materialitas, aslinya, memang berdasarkan uji kuantitatif (dengan persentase), keadaan yang melingkupi suatu transaksi atau item dalam laporan keuangan bisa mempengaruhi penentuan apakah transaksi/item tersebut dinilai material atau tidak material. Misalnya:
Suatu transaksi, jika dicatat, dapat mengubah kondisi “laba” menjadi “rugi” atau mengubah rasio terhadap utang dari tidak-patuh mejadi patuh (atau sebalinya), dianggap MATERIAL—meskipun secara kuantitatif tergolong tidak material.
Faktor berikutnya yang mempengaruhi material/tidak material adalah “aktivitas rutin atau khusus”. Suatu transaksi mungkin dianggap tidak material ketika itu menyangkut operasional rutin sehari-hari, tetapi manjadi material ketika jenis transaksi yang sama timbul dari aktivitas khusus untuk maksud tertentu. Misalnya: transaksi yang mengakibatkan manajemen bisa mencapai target (atau bonus) mungkin dianggap material meskipun secara kuantitatif tidak material.
Faktor lainnya adalah “tingkat persisi estimasi” yang digunakan. Misalnya:
Estimasi “utang” biasanya bisa diestimasi dengan lebih persis dibandingkan potensi rugi atas kewajiban penarikan suatu aset, sehingga suatu salah-saji yang ketika berhubungan dengan utang dianggap material mungkin tidak material ketika berkaitan dengan kewajiban penarikan aset.
Beberapa contoh transaksi dimana menggunakan faktor kuantitatif saja adalah tidak cukup—sehingga perlu disertai dengan pertimbangan faktor-faktor kualitatif, antara lain:
Di Indonesia, khususnya bagi perusahaan berstatus publik,
pihak BAPPEPAM telah mengeluarkan peraturan khusus mengenai uji
materialitas yang harus ditempuh oleh perusahaan berstatus publik (Tbk),
khususnya Per IX.E.2.
Sesuai dengan peraturan tersebut, perusahaan berstatus publik di Indonesia dihimbau untuk menempuh 2 tahapan uji materialitas, sbb:
Tahap-1. Uji Jenis Transaksi – Perusahaan diminta untuk memperhatikan jenis-jenis transaksi berikut ini:
Tahap-2. Uji Terhadap Batasan Nilai Material – Perusahaan diminta membandingkan nilai transaksi secara keseluruhan (baik terhadap transaksi yang dilakukan hanya satu kali maupun transaksi yang dilaksanakan dalam suatu rangkaian untuk tujuan atau kegiatan tertentu) dengan ekuitas Perusahaan. Adapun, nilai ekuitas yang dipakai sebagai perbandingan adalah nilai ekuitas sebagaimana terdapat pada yang terkini dari:
1. Tingkatan Laporan Keuangan – Pada tingkat ini, materialitas dihitung sebagai “keseluruhan salah saji minimum” yang dianggap penting atau material atas salah satu laporan keuangan. Hal ini disebabkan karena laporan keuangan pada dasarnya adalah saling terkait satu sama lain dan sama halnya dengan prosedur audit yang dapat berkaitan dengan lebih dari satu laporan keuangan.
2. Tingkatan Saldo Akun – Pada tingkat ini, materialitas merupakan “salah saji terkecil” yang mungkin terdapat dalam saldo akun yang dipandang material. Audior, idealnya, perlu mempertimbangkan materialitas pada tingkat laporan keuangan (lihat di bawah)—bagaimanapun juga salah-saji yang tidak material secara individu bisa jadi material terhadap laporan keuangan bila digabungkan dengan saldo akun yang lain.
Pertimbangan materialitas pada saat perencanaan audit mungkin berbeda dengan pertimbangan materialitas pada saat evaluasi laporan keuangan karena alasan berikut ini:
Sementara akuntan, terutama auditor, tahu persis bahwa: isi laporan keuangan (apapun itu) adalah tanggungjawab manajemen perusahaan, termasuk materialitas dan salah-saji. Hal itu bisa dibaca pada “Management Representation Letter” yang salah satu isinya tegas menyatakan hal itu.
Bahwa auditor berkepentingan untuk menggalang bukti yang cukup, BENAR, tetapi itu semata-mata hanya untuk memberi “keyakinan yang masuk-akal” (reasonable assurance) bagi pengguna laporan keuangan bahwa, asersi (=laporan keuangan) manajemen perusahaan tidak mengandung salah-saji yang bersifat material.
Singkat katanya: auditor hanya bertugas untuk menemukan, bukan bertanggungjawab atas apa yang ditemukannya.
Sementara isi laporan keuangan—termasuk soal material/tak material dan salah-saji yang mungkin terkandung di dalamnya—tetap menjadi tanggungjawabnya manajemen perusahaan—yang secara teknis mendelegasikan tugas itu kepada akuntan penyusun lapora keuangan (internal atau eksernal).
Idealnya, menurut saya, akuntan penyusun laporan keuangan mesti sangat berhati-hati dalam mempertimbangkan dan menilai materialitas suatu transaksi. Sebagai sikap default: kecuali nilainya sangat sangat kecil (mungkin tidak sampai Rp 100), semua transaksi anggap material. Sedangkan akuntan eksternal, dalam menjalankan proses audit, sebaiknya bekerja maksimal (dengan menggunakan segenap kemampuannya) untuk menangkap hal-hal yang bisa menimbulkan salah-saji bersifat material (Note: sebentar lagi saya akan bahas mengenai sikap auditor terhadap salah-saji yang tak terkoreksi).
Saya percaya bahwa tak ada satupun akuntan penyusun laporan keuangan (baik eksternal maupun internal) yang dengan sengaja menyalahgunakan kelemahan akuntansi—termasuk subyektifitas ukuran materialitas—untuk alasan apapun. Saya perlu sampaikan ini dengan jelas.
Dari sekian banyak kasus yang pernah terjadi, fraud lebih banyak diinisiasi di level atas lalu diikuti oleh level-level di bawahnya, terutama dengan cara memanipulasi bukti transaksi (membuat bukti transaksi palsu, mengubah angka, atau menghilangkan bukti transaksi). Sedangkan akuntan, hanya menginput data berdasarkan berdasarkan bukti transaksi yang ada.
Itu sebabnya mengapa saya (penulis pribadi) tak pernah bosan menghimbau rekan-rekan akuntan internal dan eksternal (konsultan) yang menyusun laporan keuangan, baik secara langsung maupun lewat tulisan-tulisan saya di JAK ini, agar sangat berhati-hati. Khusus akuntan internal, agar selalu melakukan verifikasi yang cukup atas validitas bukti transaksi/informasi keuangan lainnya, sebelum dicatat—dengan harapan bisa mendeteksi sekaligus mencegah kemungkinan fraud, hingga ke titik yang paling rendah.
Dengan demikian, maka persoalan materialitas—yang menjadi ‘biang-kerok’nya salah-saji tak tekoreksi—telah kita bahas. Selanjutnya kita masuk ke persoalan “salah-saji’.
Sementara itu, auditor eksternal—yang pastinya sudah dilengkapi dengan berbagai prosedur dan teknik—diharapkan agar menajalankan proses pemeriksaan sedemikian rupa, sehingga jika salah-saji lolos dari penyaringan akuntan internal bisa terdeksi di proses audit, sehingga laporan keuangan teraudit (audited financial statement) benar-benar bisa memberikan keyakinan yang cukup mengenai deteksi salah-saji material, termasuk salah-saji yang bersumber dari kesalahan semata (erroneous).
Dalam proses pemeriksaan, seorang auditor mengklasifikasikan salah-saji menjadi 2 kelompok atau kategori: (1) salah-saji telah diketahui; dan (2) kemungkinan salah-saji.
‘Salah-saji Telah Diketahui’ bisa timbul dari:
Dalam menilai “sepele” atau “tidak penting”, mengenai salah-saji, auditor mempertimbangkan apakah salah-saji yang ditemukan—baik secara individual maupun setelah digabung—tergolong material atau tidak material.
Sedangkan untuk “kemungkinan salah-saji”, diperlakukan sebagai berikut:
1. Jika berasal dari ekstrapolasi (proyeksi terhadap populasi dari uji secara sampling), maka auditor meminta manajemen untuk meneliti keseluruhan populasi dari mana sample diambil. Populasi ini bisa jadi berupa kelompok transaksi, saldo akun, atau informasi tambahan yang tercatum dalam disklosur laporan keuangan. Tujuan dari permintaan ini agar pihak menajemen perusahaan (auditee) menemukan semua salah-saji yang ada di dalam populasi, tanpa terkecuali—sehingga bisa melakukan koreksi yang diperlukan.
Sumber:
http://jurnalakuntansikeuangan.com
Kita mulai dengan melihat, terlebih dahulu, mengapa timbul salah-saji yang tak terkoreksi, apa hubungannya dengan persoalan materialitas, setelah itu baru kemudian masuk ke sikap auditor terhadap salah-saji tak terkoreksi.
Mengapa Timbul Salah-Saji Yang Tak Terkoreksi?
Salah-saji, idealnya, dikoreksi—oleh akuntan penyusun laporan keuangan—begitu ditemukan. Tetapi pada kondisi tertentu, salah-saji seringkali dibiarkan begitu saja karena alasan tertentu. Salah satu alasan yang paling lumrah digunakan adalah pertimbangan “materialitas”—salah-saji yang tak terkoreksi dianggap “tidak material”.Dari sisi penyusun laporan keuangan (entah akuntan internal atau konsultan), pertimbangan ‘material/tidak material’ seringkali dipengaruhi oleh faktor lain, terutama batas akhir penyampaian laporan keuangan (relevansi), disamping keinginan untuk meminimalkan biaya yang timbul dari proses penyusunan laporan.
Mereka yang kebetulan bekerja untuk sebuah perusahaan, saya yakin bisa membayangkan situasi berikut ini:
Setelah ngos-ngosan mengejar batas akhir penyampaian laporan keuangan, tanggl 2 Januari 2013, akhirnya berhasil merampungkan lapora keuangan. Setelah diteliti sekilas, laporan keuangan dikirimkan ke semua jajaran manajemen perusahaan.
Sekembalinya ke meja, penyusun laporan meneiliti kembali item-item yang tersaji dalam laporan keuangan—yang printoutnya sudah dibagi-bagikan ke pihak manajemen, lalu menemukan beberapa kesalahan. Si penyusun laporan berpikir, “Ah.. biarin deh, sudah terlanjur dilaporkan, lagi pula nggak material ini juga”.
Bisa dibilang, konsep “materialitas” mengandung unsur subyektifitas yang tinggi.
Dalam seknario yang lebih parah, sudah banyak terjadi di luar sana, pertimbangan materialitas banyak digunakan sebagai alasan untuk membenarkan pembiaran salah-saji, sejak di awal, bahkan untuk kesalahan yang disengaja. Adalah kenyatakaan bahwa pertimbangan materialitas kerap disalahgunakan—tentunya oleh manajemen yang tidak disadari oleh akuntan.
Persoalan ini penting bagi auditor, tetapi lebih penting lagi bagi akuntan penyusun laporan keuangan. Idealnya, seorang akuntan yang menyusun laporan keuangan seharusnya tidak mengorbankan akurasi dan keandalan untuk alasan relevansi (ketepatwaktuan). Para akuntan peyusun laporan keuangan, oleh standar, diharapkan mampu menggunakan pertimbangan materialitas secara profesional—tanpa mengurangikeandalan dan ketepatwaktuan laporan.
Tahu harus bersikap apa ketika menumakan salah-saji adalah satu hal penting bagi seorang auditor. Memahami konsep materialitas—yang idealnya lebih mumpuni dibandingkan akuntan penyusun laporan keuangan—adalah hal yang pokok; bagaimana bisa menentukan sikap profesional, ketika menemukan salah-saji, jika tidak tahu batasan materialitas?
Definisi dan Batasan Materialitas
Secara umum, batasan materialitas tidak berupa angka tertentu yang diberlakukan bagi semua perusahaan (misal Rp 500,000 atau 1,000,000 atau 5,000,000), melainkan berdasarkan persentase tertentu. Sehingga, bisa dikatakan bahwa, tingkat materialitas pada suatu perusahaan berbeda dengan perusahaan lain.Materilitas berdasarkan persentasepun, sampai saat ini, masih sering menjadi bahan perdebatan—baik di kalangan praktisi maupun akademisi.
Materialitas, oleh FASB, didefinisikan sebagai:
“besarnya suatu kelalaian atau salah saji, dalam laporan keuangan, yang membuat pengguna laporan terpengaruh oleh informasi yang dihilangkan, atau membuat keputusan berbeda jika informasi yang benar diketahui.”
Meskipun para pakar dan regulator telah berusaha membuat definisi materialitas yang bisa disepakati secara global, tetap saja belum menghasilkan batasan yang pasti mengenai konsep materialitas; unsur subyektifitas yang melekat pada konsep ini masih tetap tinggi. Sehingga masih sulit untuk memisahkan transaksi bersifat tidak material dengan yang material.
Celakanya lagi sering disalahgunakan untuk kepentingan tertentu, termasuk kepentingan untuk memperoleh keuntungan pribadi/perusahaan—dengan menjadikan pertimbangan materialitas sebagai tameng untuk tidak melakukan koreksi pada item yang salah-saji.
Materialitas, sebagai sebuah kriteria, mengandung aspek kuantitatif sekaligus kualitatif, dan suatu transaksi bisa dianggap tidak material jika kedua aspek ini sudah dipertimbangkan dan memang benar-benar tidak material atau tidak relevan.
Meskipun penilaian materialitas, aslinya, memang berdasarkan uji kuantitatif (dengan persentase), keadaan yang melingkupi suatu transaksi atau item dalam laporan keuangan bisa mempengaruhi penentuan apakah transaksi/item tersebut dinilai material atau tidak material. Misalnya:
Suatu transaksi, jika dicatat, dapat mengubah kondisi “laba” menjadi “rugi” atau mengubah rasio terhadap utang dari tidak-patuh mejadi patuh (atau sebalinya), dianggap MATERIAL—meskipun secara kuantitatif tergolong tidak material.
Faktor berikutnya yang mempengaruhi material/tidak material adalah “aktivitas rutin atau khusus”. Suatu transaksi mungkin dianggap tidak material ketika itu menyangkut operasional rutin sehari-hari, tetapi manjadi material ketika jenis transaksi yang sama timbul dari aktivitas khusus untuk maksud tertentu. Misalnya: transaksi yang mengakibatkan manajemen bisa mencapai target (atau bonus) mungkin dianggap material meskipun secara kuantitatif tidak material.
Faktor lainnya adalah “tingkat persisi estimasi” yang digunakan. Misalnya:
Estimasi “utang” biasanya bisa diestimasi dengan lebih persis dibandingkan potensi rugi atas kewajiban penarikan suatu aset, sehingga suatu salah-saji yang ketika berhubungan dengan utang dianggap material mungkin tidak material ketika berkaitan dengan kewajiban penarikan aset.
Beberapa contoh transaksi dimana menggunakan faktor kuantitatif saja adalah tidak cukup—sehingga perlu disertai dengan pertimbangan faktor-faktor kualitatif, antara lain:
- Membeli atau menjual aset yang harganya lebih atau kurang dari nilai buku aset.
- Proses litigasi terhadap keinginan manajemen perusahaan untuk mengubah harga dalam kontrak yang telah disepakati atau kasus yang berhubungan dengan tuntutan antitrust.
- Negosiasi aktif mengenai penyelesaian utang-piutang
Batasan Materialitas Menutur SEC-nya AS
Badan pengawas pasar modal AS—Securities and Exchange Commission (SEC)—memberi panduan mengenai batasan materialitas, bagi perusahaan publik di AS sana, sbb:- 1% dari total aset untuk piutang ke manajemen dan pemegang saham
- 5% dari total aset untuk item neraca yang menggunakan disklosur terpisah; dan
- 10% dari total pendapatan untuk perusahaan pengolah bahan bakar minyak dan gas
Sesuai dengan peraturan tersebut, perusahaan berstatus publik di Indonesia dihimbau untuk menempuh 2 tahapan uji materialitas, sbb:
Tahap-1. Uji Jenis Transaksi – Perusahaan diminta untuk memperhatikan jenis-jenis transaksi berikut ini:
- Pembelian saham (termasuk dalam rangka pengambilalihan);
- Penjualan saham;
- Penyertaan dalam badan usaha, proyek, dan/atau kegiatan usaha tertentu;
- Pembelian, penjualan, pengalihan, tukar menukar atas segmen usaha atau aset selain saham;
- Sewa menyewa aset;
- Pinjam meminjam dana;
- Menjaminkan aset; dan/atau
- Memberikan jaminan perusahaan.
Tahap-2. Uji Terhadap Batasan Nilai Material – Perusahaan diminta membandingkan nilai transaksi secara keseluruhan (baik terhadap transaksi yang dilakukan hanya satu kali maupun transaksi yang dilaksanakan dalam suatu rangkaian untuk tujuan atau kegiatan tertentu) dengan ekuitas Perusahaan. Adapun, nilai ekuitas yang dipakai sebagai perbandingan adalah nilai ekuitas sebagaimana terdapat pada yang terkini dari:
- Laporan keuangan tahunan yang diaudit;
- Laporan keuangan tengah tahunan yang disertai laporan Akuntan dalam rangka penelaahan terbatas paling kurang untuk akun ekuitas; atau
- Laporan keuangan interim yang diaudit selain laporan keuangan interim tengah tahunan, dalam hal Perusahaan mempunyai laporan keuangan interim.
Kepentingan Auditor Terhadap Materialitas Dan Salah-saji
Auditor jelas sangat berkepentingan terhadap persoalan materialitas. SA seksi 312, “Risiko dan Materialitas Audit Dalam Pelaksanaan Audit” mengharuskan Auditor menentukan materialitas dalam 2 jenis aktivitas proses audit, yaitu:- Perencanaan audit dan perancangan prosedur audit; dan
- Evaluasi kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan
1. Tingkatan Laporan Keuangan – Pada tingkat ini, materialitas dihitung sebagai “keseluruhan salah saji minimum” yang dianggap penting atau material atas salah satu laporan keuangan. Hal ini disebabkan karena laporan keuangan pada dasarnya adalah saling terkait satu sama lain dan sama halnya dengan prosedur audit yang dapat berkaitan dengan lebih dari satu laporan keuangan.
2. Tingkatan Saldo Akun – Pada tingkat ini, materialitas merupakan “salah saji terkecil” yang mungkin terdapat dalam saldo akun yang dipandang material. Audior, idealnya, perlu mempertimbangkan materialitas pada tingkat laporan keuangan (lihat di bawah)—bagaimanapun juga salah-saji yang tidak material secara individu bisa jadi material terhadap laporan keuangan bila digabungkan dengan saldo akun yang lain.
Pertimbangan materialitas pada saat perencanaan audit mungkin berbeda dengan pertimbangan materialitas pada saat evaluasi laporan keuangan karena alasan berikut ini:
- Keadaan yang melingkupi berubah; atau
- Adanya informasi tambahan selama proses audit; atau
- Keduanya
Siapa Yang Bertanggungjawab Atas Materialitas dan Salah-saji?
Publik, terutama pemegang saham perusahaan, sering salah persepsi dalam hal ini, menganggap auditor (eksternal)-lah yang bertanggungjawab atas materialitas dan salah-saji. Bisa dipahami, mengingat mereka berasal dari dari berbagai latarbelakang dan profesi, lagipula merekalah yang membayar auditor (meskipun kas diambil dari perusahaan).Sementara akuntan, terutama auditor, tahu persis bahwa: isi laporan keuangan (apapun itu) adalah tanggungjawab manajemen perusahaan, termasuk materialitas dan salah-saji. Hal itu bisa dibaca pada “Management Representation Letter” yang salah satu isinya tegas menyatakan hal itu.
Bahwa auditor berkepentingan untuk menggalang bukti yang cukup, BENAR, tetapi itu semata-mata hanya untuk memberi “keyakinan yang masuk-akal” (reasonable assurance) bagi pengguna laporan keuangan bahwa, asersi (=laporan keuangan) manajemen perusahaan tidak mengandung salah-saji yang bersifat material.
Singkat katanya: auditor hanya bertugas untuk menemukan, bukan bertanggungjawab atas apa yang ditemukannya.
Sementara isi laporan keuangan—termasuk soal material/tak material dan salah-saji yang mungkin terkandung di dalamnya—tetap menjadi tanggungjawabnya manajemen perusahaan—yang secara teknis mendelegasikan tugas itu kepada akuntan penyusun lapora keuangan (internal atau eksernal).
Idealnya, menurut saya, akuntan penyusun laporan keuangan mesti sangat berhati-hati dalam mempertimbangkan dan menilai materialitas suatu transaksi. Sebagai sikap default: kecuali nilainya sangat sangat kecil (mungkin tidak sampai Rp 100), semua transaksi anggap material. Sedangkan akuntan eksternal, dalam menjalankan proses audit, sebaiknya bekerja maksimal (dengan menggunakan segenap kemampuannya) untuk menangkap hal-hal yang bisa menimbulkan salah-saji bersifat material (Note: sebentar lagi saya akan bahas mengenai sikap auditor terhadap salah-saji yang tak terkoreksi).
Saya percaya bahwa tak ada satupun akuntan penyusun laporan keuangan (baik eksternal maupun internal) yang dengan sengaja menyalahgunakan kelemahan akuntansi—termasuk subyektifitas ukuran materialitas—untuk alasan apapun. Saya perlu sampaikan ini dengan jelas.
Dari sekian banyak kasus yang pernah terjadi, fraud lebih banyak diinisiasi di level atas lalu diikuti oleh level-level di bawahnya, terutama dengan cara memanipulasi bukti transaksi (membuat bukti transaksi palsu, mengubah angka, atau menghilangkan bukti transaksi). Sedangkan akuntan, hanya menginput data berdasarkan berdasarkan bukti transaksi yang ada.
Itu sebabnya mengapa saya (penulis pribadi) tak pernah bosan menghimbau rekan-rekan akuntan internal dan eksternal (konsultan) yang menyusun laporan keuangan, baik secara langsung maupun lewat tulisan-tulisan saya di JAK ini, agar sangat berhati-hati. Khusus akuntan internal, agar selalu melakukan verifikasi yang cukup atas validitas bukti transaksi/informasi keuangan lainnya, sebelum dicatat—dengan harapan bisa mendeteksi sekaligus mencegah kemungkinan fraud, hingga ke titik yang paling rendah.
Dengan demikian, maka persoalan materialitas—yang menjadi ‘biang-kerok’nya salah-saji tak tekoreksi—telah kita bahas. Selanjutnya kita masuk ke persoalan “salah-saji’.
Type-type Salah-saji Dari Sudut Pandang Auditor (Eksternal)
Akuntan penyusun laporan keuangan, jelaslah harus memiliki sistim atau prosedur pengendalian khusus untuk mengurangi risiko adanya kesalahan informasi yang disengaja namun tak terdeteksi jika tanpa prosedur—yang bisa mengakibatkan salah-saji, sebagai alat penyaring awal.Sementara itu, auditor eksternal—yang pastinya sudah dilengkapi dengan berbagai prosedur dan teknik—diharapkan agar menajalankan proses pemeriksaan sedemikian rupa, sehingga jika salah-saji lolos dari penyaringan akuntan internal bisa terdeksi di proses audit, sehingga laporan keuangan teraudit (audited financial statement) benar-benar bisa memberikan keyakinan yang cukup mengenai deteksi salah-saji material, termasuk salah-saji yang bersumber dari kesalahan semata (erroneous).
Dalam proses pemeriksaan, seorang auditor mengklasifikasikan salah-saji menjadi 2 kelompok atau kategori: (1) salah-saji telah diketahui; dan (2) kemungkinan salah-saji.
‘Salah-saji Telah Diketahui’ bisa timbul dari:
- Pemilihan atau implementasi prinsip akuntansi yang salah
- Kesalahan dalam pengumpulan, pemrosesan, pengelompokan, penginterpretasian, atau kelalaian dalam mengidentifikasi informasi/data yang relevan
- Niat (dengan sengaja) untuk membuat pengguna laporan keuangan salah dalam mengambil keputusan
- Niat (dengan sengaja) untuk menutupi pencurian tertentu
- Adanya perbedaan, dalam hal penilian, antara manajemen dan auditor mengenai estimasi-estimasi akuntansi dimana angka yang tersaji dalam laporan keuangan melampaui rentang estimasi yang dapat diterima menurut auditor.
- Angka yang telah diproyeksikan ( istilah statistiknya “extrapolated”) oleh auditor berdasarkkan hasil-hasil dari prosedur ‘sampling’—baik statistikal atau non-statistikal—pada suatu populasi (data).
Dalam menilai “sepele” atau “tidak penting”, mengenai salah-saji, auditor mempertimbangkan apakah salah-saji yang ditemukan—baik secara individual maupun setelah digabung—tergolong material atau tidak material.
Bagaimana Auditor Menyikapi Salah-Saji?
Untuk “salah-saji telah diketahui”, auditor diwajibkan—oleh tuntutan profesinya—untuk meminta manajemen perusahaan (auditee) untuk melakukan koreksi terhadap masing-masing item salah-saji. Dalam banyak kasus, perusahaan (auditee) biasanya keberatan untuk memenuhi permintaan tersebut. Jika itu yang terjadi biasanya auditor perlu menjelaskan alasannya—secara terperinci. Jika masih tetap tidak mau, auditor biasanya menyertakan “sangkalan” (disclaimer) dalam opininya.Sedangkan untuk “kemungkinan salah-saji”, diperlakukan sebagai berikut:
1. Jika berasal dari ekstrapolasi (proyeksi terhadap populasi dari uji secara sampling), maka auditor meminta manajemen untuk meneliti keseluruhan populasi dari mana sample diambil. Populasi ini bisa jadi berupa kelompok transaksi, saldo akun, atau informasi tambahan yang tercatum dalam disklosur laporan keuangan. Tujuan dari permintaan ini agar pihak menajemen perusahaan (auditee) menemukan semua salah-saji yang ada di dalam populasi, tanpa terkecuali—sehingga bisa melakukan koreksi yang diperlukan.
Misalnya:
Dari sample yang ditarik dari data inventory, auditor menemukan
kesalahan di beberapa transaksi. Dalam kasus seperti ini auditor akan
meminta pihak manajemen untuk melakukan pemeriksaan sendiri,
transaksi-per-transaksi, guna menemukan kesalahan-kesalahan lainnya,
untuk dikoreksi.
2. Jika berasal dari perbedaan estimasi—antara
auditor dengan estimasi perusahaan—maka auditor meminta pihak manajemen
untuk meninjau kembali metode dan asumsi yang digunakan untuk melakukan
estimasi, termasuk perhitungannya.
Misalnya:
Nilai cadangan kerugian piutang tak tertagih. Bila estimasi
perusahaan terlalu tinggi atau rendah dibandingkan dengan estimasi
auditor, maka auditor meminta perusahaan untuk meninjau kembali metode
pencadangan, asumsi beserta perhitungan yang dijadikan dasar dalam
menentukan besarnya cadangan kerugian piutang.
Auditor diharapkan dapat berkomunikasi dengan pihak manajemen
perusahaan setelah salah-saji ditemukan, yang manapun typenya. Makin
cepat komunikasi dilakukan makin bagus, karena sangat mungkin manajemen
membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk memenuhi permintaan auditor.
Selanjutnya auditor meminta pihak manajemen melakukan koreksi atau
meminta bukti transaksi/data/informasi tambahan. Perusahaan di sisi
lainnya, diharapkan mampu (terutama sekali “mau”) menggunakan
pertimbangan kualitatif dalam menilai suatu salah-saji—disamping
kuantitatif.Sumber:
http://jurnalakuntansikeuangan.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar