Nama : Rindy Agustin
NPM : 25210987
KELAS : 2EB21
#ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI
TUGAS Minggu ke - 4
1) Pengertian Konsumen
Pengertian Konsumen menurut Philip
Kotler (2000) dalam bukunya Prinsiples Of Marketing adalah semua individu dan
rumah tangga yang membeli atau memperoleh barang atau jasa untuk dikonsumsi
pribadi.
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang
dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri
sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan
2) Asas dan Tujuan Konsumen
1. Asas Manfaat; mengamanatkan bahwa segala upaya dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya
bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan,
2. Asas Keadilan; partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan
secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha
untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil,
3. Asas Keseimbangan; memberikan keseimbangan antara
kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun
spiritual,
4. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen; memberikan jaminan
atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalarn penggunaan, pemakaian dan
pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan;
5. Asas Kepastian Hukum; baik pelaku usaha maupun konsumen
mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan
konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Sesuai dengan pasal 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen,
tujuan dari Perlindungan Konsumen adalah :
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen
untuk melindungi diri,
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa,
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,
menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen,
4.Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung
unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan
informasi,
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab
dalam berusaha,
6.Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan,
keamanan dan keselamatan konsumen.
3) HAK DAN KEWAJIBAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
Untuk melindungi hal tersebut, penting kiranya para konsumen
memahami hak-hak yang dimiliki demi mendapatkan perlindungan akan barang
dan/jasa yang dikonsumsinya. Berikut hak-hak yang dimiliki para konsumen:
1.
Hak
atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan jasa.
2.
Hak
untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
3.
Hak
atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi jaminan barang
dan/atau jasa.
4.
Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya
atas barang dan/atau jasa yang digunakan.
5.
Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan,
dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
6.
Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan
konsumen.
7.
Hak
untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif.
8.
Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi
dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai
dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya
9.
Hak-hak
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang lainnya.
Demi mendapatkan perlindungan yang maksimal, maka sudah
menjadi kewajiban konsumen untuk memperhatikan hal berikut ini:
1.
Membaca
atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan
barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan.
2.
Beritikad
baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.
3.
Membayar
sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
4.
Mengikuti
upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
4)
HAK DAN KEWAJIBAN PELAKU USAHA
Seperti
halnya konsumen, pelaku usaha juga memiliki hak dan kewajiban. Hak pelaku usaha
sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPK adalah:
1.
hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan
kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
2.
hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan
konsumen yang beritikad tidak baik;
3.
hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam
penyelesaian hukum sengketa konsumen;
4.
hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti
secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau
jasa yang diperdagangkan;
5.
hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya.
Sedangkan
kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 UUPK adalah:
1.
beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
2.
memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur
mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan
penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
3.
memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan
jujur serta tidak diskriminatif;
4.
menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi
dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa
yang berlaku;
5.
memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji,
dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau
garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
6.
memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian
atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa
yang diperdagangkan;
7.
memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian
apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.
Bila diperhatikan dengan seksama,
tampak bahwa hak dan kewajiban pelaku usaha bertimbal balik denganhak dan
kewajiban konsumen. Ini berarti hak bagi konsumen adalah kewajiban yang harus
dipenuhi oleh pelaku usaha. Demikian pula dengan kewajiban konsumen merupakan
hak yang akan diterima pelaku usaha.
Bila dibandingkan dengan ketentuan
umum di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tampak bahwa pengaturan UUPK lebih
spesifik. Karena di UUPK pelaku usaha selain harus melakukan kegiatan usaha
dengan itikad baik, ia juga harus mampu menciptakan iklim usaha yang kondusif,
tanpa persaingan yang curang antar pelaku usaha.
5) KEGIATAN YANG DILARANG DALAM PERLINDUNGAN KONSUMEN
kegiatan yang di larang dalam
perlindungan konsumen
1. Kegiatan produksi dan / atau perdagangan barang dan atau jasa (Pasal 8 ayat
1). Sejumlah pelaku usaha memproduksi dan/atau memperdagangkan barang
dan/atau jasa yang:
1. Kegiatan produksi dan / atau perdagangan barang dan atau jasa (Pasal 8 ayat
1). Sejumlah pelaku usaha memproduksi dan/atau memperdagangkan barang
dan/atau jasa yang:
a.
Tidak memenuhi atau tidak sesuai
dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundangundangan;
b.
Tidak sesuai dengan berat bersih, isi
bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam
label atau etiket barang tersebut;
c.
Tidak sesuai dengan ukuran, takaran,
timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
d.
Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan,
keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau
keterangan barang dan/atau jasa tersebut
e.
Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan,
komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana
dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan
dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau
jasa tersebut;
g. Tidak mencantumkan tanggal
kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas
barang tertentu;
h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi
secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam
label;
i. Tidak memasang label atau membuat
penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto,
komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat
pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan
harus dipasang/ dibuat;
j. Tidak
mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa
Indonesia sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku.
Selain itu, masih ada pelaku usaha
yang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa
memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud (ayat 2) dan
memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan
tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar (ayat
3).
2. Kegiatan penawaran, promosi, dan
periklanan barang dan atau jasa. Sejumlah
pelaku usaha masih menawarkan, memproduksi, mengiklankan suatu barang
dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah (Pasal 9 ayat 1):
pelaku usaha masih menawarkan, memproduksi, mengiklankan suatu barang
dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah (Pasal 9 ayat 1):
a.
Barang tersebut telah memenuhi
dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya
atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;
b.
Barang tersebut dalam keadaan baik
dan/atau baru;
c. Barang dan/atau jasa tersebut telah
mendapatkan dan/atau memiliki sponsor,
persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciriciri kerja atau aksesori tertentu;
persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciriciri kerja atau aksesori tertentu;
d. Barang dan/atau jasa tersebut dibuat
oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi;
e. Barang dan/atau jasa tersebut
tersedia;
f. Barang tersebut tidak mengandung
cacat tersembunyi;
g. Barang tersebut merupakan kelengkapan
dari barang tertentu;
h.
Barang tersebut berasal dari daerah
tertentu;
i.
Secara langsung atau tidak langsung
merendahkan barang dan/atau jasa lain;
j.
Menggunakan kata-kata yang
berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek
sampingan tampak keterangan yang lengkap;
k.
Menawarkan sesuatu yang mengandung
janji yang belum pasti.
Penyimpangan lain yang sangat mungkin
terjadi adalah pelaku usaha menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau
membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai (pasal 10):
a.
Harga atau tarif suatu barang
dan/atau jasa;
b.
Kegunaan suatu barang dan/atau jasa;
c.
Kondisi, tanggungan, jaminan, hak
atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;
d.
Tawaran potongan harga atau hadiah
menarik yang ditawarkan;
e.
Bahaya penggunaan barang dan/atau
jasa.
Selain itu, bentuk pelanggaran lain
adalah menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa
dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, padahal
sebenarnya pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannya sesuai
dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan (pasal
12).
Yang juga banyak terjadi adalah pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain secara cumacuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikannya (pasal 13 ayat 1) dan menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain (pasal 13 ayat 2). Juga, meski sudah dilarang oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen, sejumlah pelaku usaha menawarkan barang dan/atau jasa dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen (pasal 15).
Beriklan adalah salah satu kegiatan yang cukup banyak mengandung pelanggaran karena sejumlah pelaku usaha memproduksi iklan yang (pasal 17):
Yang juga banyak terjadi adalah pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain secara cumacuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikannya (pasal 13 ayat 1) dan menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain (pasal 13 ayat 2). Juga, meski sudah dilarang oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen, sejumlah pelaku usaha menawarkan barang dan/atau jasa dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen (pasal 15).
Beriklan adalah salah satu kegiatan yang cukup banyak mengandung pelanggaran karena sejumlah pelaku usaha memproduksi iklan yang (pasal 17):
a.
Mengelabui konsumen mengenai
kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang dan/atau tarif jasa serta
ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa;
b.
Mengelabui jaminan/garansi terhadap
barang dan/atau jasa;
c.
Memuat informasi yang keliru, salah,
atau tidak tepat mengenai barang dan/ata jasa;
d.
Tidak memuat informasi mengenai
risiko pemakaian barang dan/atau jasa;
e.
Mengeksploitasi kejadian dan/atau
seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan;
f.
Melanggar etika dan/atau ketentuan
peraturan perundangundangan mengenai periklanan.
3. Kegiatan transaksi penjualan barang dan / atau
jasa. Pelanggaran dalam t
ransaksi ini berarti melanggar Pasal 11, Pasal 14, serta Pasal 18 ayat (1), (2),
dan (4) UUPK;
Dalam penjualan obral atau lelang sejumlah pelaku usaha berusaha
mengelabui/ menyesatkan konsumen dengan;
ransaksi ini berarti melanggar Pasal 11, Pasal 14, serta Pasal 18 ayat (1), (2),
dan (4) UUPK;
Dalam penjualan obral atau lelang sejumlah pelaku usaha berusaha
mengelabui/ menyesatkan konsumen dengan;
a.
Menyatakan barang dan/atau jasa
tersebut seolah-olah telah memenuhi standar mutu tertentu;
b.
Menyatakan barang dan/atau jasa
tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat tersembunyi;
c. Tidak berniat untuk menjual barang
yang ditawarkan melainkan dengan maksud untuk menjual barang lain;
d.
Tidak menyediakan barang dalam jumlah
tertentu dan/atau jumlah yang cukup dengan maksud menjual barang yang lain;
e. Tidak menyediakan jasa dalam
kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan maksud menjual jasa yang
lain;
f. Menaikkan
harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral.
Pelanggaran yang sangat mungkin
terjadi dalam penawaran barang dan/atau jasa adalah bahwa pelaku usaha:
a. Tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan;
b. Mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa;
c. Memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan;
d. Mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.
Dalam dunia perbankan dan pembiayaan banyak sekali kita jumpai penggunaan perjanjian baku yang sudah disiapkan pelaku usaha sedemikian rupa sehingga (kadang-kadang) lebih banyak mengatur kewajiban konsumen dan hak pelaku usaha secara tidak seimbang. Perjanjian baku juga banyak kita jumpai berupa ’peringatan’ sepihak dari pengelola parkir: ”Barang hilang atau rusak ditanggung sendiri”, atau dari supermarket: ”Barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar kembali”. Contoh penggunaan klausula baku yang merugikan (dan dilarang oleh undang-undang) adalah (pasa 18 ayat 1):
a. Pelaku usaha menolak tanggung jawab;
b. Pelaku usaha menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
c. Pelaku usaha menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. Pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun
tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan
barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. Pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh
konsumen;
f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau
g. Mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
h. Konsumen harus tunduk kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan,
lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam
masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
i. Konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan,
hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran.
Ironisnya, meski sudah dilarang, masih banyak pelaku usaha yang menggunakan klausula baku dengan isi yang sifatnya eksoneratif atau penolakan bertanggungjawab. Bertambah pelik permasalahannya karena letak dan bentuk klausula baku sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau menggunakan ungkapan yang sulit imengerti (ayat 2).
Kegiatan pascatransaksi penjualan barang dan atau jasa yang menyimpang dari Pasal 28 UUUPK yaitu dimana pelaku usaha mengingkari kewajiban pembuktian atas ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
a. Tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan;
b. Mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa;
c. Memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan;
d. Mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.
Dalam dunia perbankan dan pembiayaan banyak sekali kita jumpai penggunaan perjanjian baku yang sudah disiapkan pelaku usaha sedemikian rupa sehingga (kadang-kadang) lebih banyak mengatur kewajiban konsumen dan hak pelaku usaha secara tidak seimbang. Perjanjian baku juga banyak kita jumpai berupa ’peringatan’ sepihak dari pengelola parkir: ”Barang hilang atau rusak ditanggung sendiri”, atau dari supermarket: ”Barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar kembali”. Contoh penggunaan klausula baku yang merugikan (dan dilarang oleh undang-undang) adalah (pasa 18 ayat 1):
a. Pelaku usaha menolak tanggung jawab;
b. Pelaku usaha menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
c. Pelaku usaha menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. Pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun
tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan
barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. Pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh
konsumen;
f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau
g. Mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
h. Konsumen harus tunduk kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan,
lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam
masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
i. Konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan,
hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran.
Ironisnya, meski sudah dilarang, masih banyak pelaku usaha yang menggunakan klausula baku dengan isi yang sifatnya eksoneratif atau penolakan bertanggungjawab. Bertambah pelik permasalahannya karena letak dan bentuk klausula baku sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau menggunakan ungkapan yang sulit imengerti (ayat 2).
Kegiatan pascatransaksi penjualan barang dan atau jasa yang menyimpang dari Pasal 28 UUUPK yaitu dimana pelaku usaha mengingkari kewajiban pembuktian atas ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
6) Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Setiap
pelaku usaha harus bertanggung jawab atas produk yang dihasilkan atau
diperdagangkan. Tanggung jawab produk timbul dikarenakan kerugian yang dialami
konsumen sebagai akibat dari “ produk yang cacat “, bisa dikarenakan kekurang
cermatan dalam memproduksi, tidak sesuai dengan yang diperjanjikan atau
kesalahan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Dengan kata lain, pelaku usaha
ingkar janji atau melakukan perbuatan melawan hukum.
Di dalam undang-undang nomor 8 tahun 1999 diatur psal 19 sampai dengan pasal 28. di dalam pasal 19 mengatur tanggung jawab kesalahan pelaku usaha terhadap produk yang dihasilkan atau diperdagangkan dengan memberi ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran, kerusakan, kerugian konsumen.
Sementara itu, pasal 20 dan pasal 21 mengatur beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian, sedangkan pasal 22 menentukan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsure kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana telah diatur dalam pasal 19
Di dalam pasal 27 disebut hal-hal yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab atas kerugian yand diderita konsumen, apabila :
1. barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksud untuk
diedarkan ;
2. cacat barang timbul pada kemudian hari;
3. cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang ;
4. kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen ;
5. lewatnya jangka waktu penuntutan 4 tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu
yang diperjanjikan.
Di dalam undang-undang nomor 8 tahun 1999 diatur psal 19 sampai dengan pasal 28. di dalam pasal 19 mengatur tanggung jawab kesalahan pelaku usaha terhadap produk yang dihasilkan atau diperdagangkan dengan memberi ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran, kerusakan, kerugian konsumen.
Sementara itu, pasal 20 dan pasal 21 mengatur beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian, sedangkan pasal 22 menentukan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsure kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana telah diatur dalam pasal 19
Di dalam pasal 27 disebut hal-hal yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab atas kerugian yand diderita konsumen, apabila :
1. barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksud untuk
diedarkan ;
2. cacat barang timbul pada kemudian hari;
3. cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang ;
4. kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen ;
5. lewatnya jangka waktu penuntutan 4 tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu
yang diperjanjikan.
7) Sanksi Sanksi Perlindungan Konsumen
Dalam pasal 62 Undang-undang
No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tersebut telah diatur tentang
pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Pelaku usaha diantaranya sebagai
berikut : 1) Dihukum dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dan milyard rupiah) terhadap :
pelaku usaha yang memproduksi atau memperdagangkan barang yang tidak sesuai
dengan berat, jumlah, ukuran, takaran, jaminan, keistimewaan, kemanjuran,
komposisi, mutu sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau keterangan tentang
barang tersebut ( pasal 8 ayat 1 ), pelaku usaha yang tidak mencantumkan
tanggal kadaluwarsa ( pasal 8 ayat 1 ), memperdagangkan barang rusak, cacat,
atau tercemar ( pasal 8 ayat 2 ), pelaku usaha yang mencantumkan klausula baku
bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli
konsumen di dalam dokumen dan/atau perjanjian. ( pasal 18 ayat 1 huruf b ) 2)
Dihukum dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) terhadap : pelaku
usaha yang melakukan penjualan secara obral dengan mengelabuhi / menyesatkan
konsumen dengan menaikkan harga atau tarif barang sebelum melakukan obral,
pelaku usaha yang menawarkan barang melalui pesanan yang tidak menepati pesanan
atau waktu yang telah diperjanjikan, pelaku usaha periklanan yang memproduksi
iklan yang tidak memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang/jasa.
Dari ketentuan-ketentuan pidana yang
disebutkan diatas yang sering dilanggar oleh para pelaku usaha masih ada lagi
bentuk pelanggaran lain yang sering dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu
pencantuman kalusula baku tentang hak pelaku usaha untuk menolak penyerahan
kembali barang yang dibeli konsumen dalam setiap nota pembelian barang.
Klausula baku tersebut biasanya dalam praktiknya sering ditulis dalam nota
pembelian dengan kalimat “Barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau
dikembalikan” dan pencantuman klausula baku tersebut selain bisa dikenai
pidana, selama 5 (lma) tahun penjara, pencantuman klausula tersebut secara
hukum tidak ada gunanya karena di dalam pasal 18 ayat (3) UU no. 8 tahun 1999
dinyatakan bahwa klausula baku yang masuk dalam kualifikasi seperti, “barang
yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan” automatis batal demi
hukum.
Namun dalam praktiknya, masih banyak para
pelaku usaha yang mencantumkan klausula tersebut, di sini peran polisi ekonomi
dituntut agar menertibkannya. Disamping pencantuman klausula baku tersebut,
ketentuan yang sering dilanggar adalah tentang cara penjualan dengan cara obral
supaya barang kelihatan murah, padahal harga barang tersebut sebelumnya sudah
dinaikan terlebih dahulu. Hal tersebut jelas bertentangan dengan ketentuan
pasal 11 huruf f UU No.8 tahun 1999 dimana pelaku usaha ini dapat diancam
pidana paling lama 2 (dua) tahun penjara dan/atau denda paling banyak Rp.500
juta rupiah.
Dalam kenyataannya aparat penegak hukum yang
berwenang seakan tdak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa dalam dunia
perdagangan atau dunia pasar terlalu banyak sebenarnya para pelaku usaha yang
jelas-jelas telah melanggar UU Perlindungan Konsumen yang merugikan kepentingan
konsumen. Bahwa masalah perlindungan konsumen sebenarnya bukan hanya menjadi
urusan YLKI atau lembaga/instansi sejenis dengan itu, berdasarkan pasal 45 ayat
(3) Jo. pasal 59 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen tanggung jawab pidana bagi
pelanggarnya tetap dapat dijalankan atau diproses oleh pihak Kepolisian. (
Oktober 2004 ).
SUMBER :